Advertisement
Analisis | Gangguan Psikis Anak Selama Belajar dari Rumah - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Gangguan Psikis Anak Selama Belajar dari Rumah

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Selain masalah kualitas internet, praktik pendidikan jarak jauh membuat anak atau peserta didik tertekan secara psikis. Masalah masih ditambah dengan kekerasan verbal dan fisik yang menimpa anak.
Author's Photo
29 September 2020, 14.15
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Sebelum mampu menemukan vaksin, solusi utama dalam menekan angka penularan Covid-19 adalah dengan pembatasan pergerakan masyarakat. Di Indonesia, pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai April lalu. Salah satu konsekuensinya, proses belajar mengajar harus dari rumah atau dengan sistem pendidikan jarak jauh (PJJ).

Merujuk data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), setidaknya 68,7 juta peserta didik melakukan PJJ di semua jenjang pendidikan. Terbanyak di jenjang Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/sederajat, yakni 28,5 juta peserta didik.

Hasil survei Wahana Visi Indonesia periode 12-18 Mei 2020 terhadap 900 rumah tangga dan 943 anak di sembilan provinsi mendapati PJJ ternyata menciptakan masalah psikis pada anak. Mayoritas (47%) anak mengaku bosan tinggal di rumah. Masalah terbesar kedua adalah khawatir ketinggalan pelajaran (35%).

Tekanan psikis lainnya, adalah takut tertular Covid-19 (34%), merindukan teman-teman (20%), merasa tidak aman (15%), dan khawatir akan penghasilan orang tua (10%).

Masalah psikis ini masih ditambah kekerasan pada anak selama PJJ. Setidaknya 61,5% anak mengaku merasa mengalami kekerasan verbal. Lalu, 11,3% merasa mengalami kekerasan fisik. Namun, hasil survei kepada orang tua berbanding terbalik, yakni 64% menyatakan sudah melakukan pengasuhan prositif tanpa kekerasan.

Perbedaan pengakuan ini mengisyaratkan belum sepenuhnya tercipta kesepahaman pola interaksi antara orang tua dan anak. Sedangkan, selama PJJ anak sangat membutuhkan pendampingan orang tua. Terlihat dari 21% anak yang mengaku tidak memahami instruksi guru dan 30% yang sulit memahami mata pelajaran. Selain itu, 37% anak mengaku tidak bisa mengatur waktu belajar.

Riset lain dari Yusof Ishak Institute bertajuk Teaching and Learning During School Closure: Lesson From Indonesia yang terbit pada Agustus lalu, menyatakan hanya 60% guru berinteraksi dengan siswa atau melalui orang tua selama PJJ. Bahkan, 10% hanya memberikan tugas yang belum tentu sesuai dengan level belajar siswa.

Begitu juga hasil survei U-Report Indonesia pada Juli lalu yang menyatakan, 38% peserta didik merasa kurang bimbingan dari guru. Menjadi keluhan terbanyak disampaikan. Mengungguli masalah akses internet (35%) dan tak memiliki gawai memadai (7%).

“Ada jutaan siswa Indonesia terancam tidak punya basic knowledge atau pendasaran ilmu yang baik dan ini membahayakan untuk perkembangan berikutnya,” kata pakar pendidikan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Doni Koesoema kepada Katadata.co.id, (31/8) ketika menanggapi hasil riset tersebut.

Selain itu, proses PJJ yang mayoritas menggunakan internet membuat anak rentan terpapar konten pornografi dan negatif lainnya. Sementara, hasil survei Wahana Visi Indonesia menyatakan, hanya 34% orang tua yang mengawasi anaknya secara berkala ketika menggunakan gawai dan mengakses internet.

Seluruh kondisi tersebut masih harus berbarengan dengan minimnya alat pendukung pendidikan yang semakin memperberat jalannya PJJ. Sebanyak 63% anak mengaku membutuhkan buku teks. Lalu, membutuhkan paket data (28%), buku bergambar (23%), dan alat membuat kerajinan/kesenian (17%).

Data-data tersebut mengindikasikan pula, bahwa kebutuhan anak bukan sekadar paket data seperti halnya yang selama ini ramai diperbincangkan. Sehingga, persoalan PJJ tak bisa selesai hanya dengan memberikan subsidi pulsa atau data, meskipun tetap bermanfaat bagi siswa.

Pemerintah sudah semestinya mulai menggodok kurikulum pembelajaran hybrid demi mengantisipasi pandemi yang belum dapat diprediksi kapan berakhir. Agar proses belajar mengajar bisa lebih ramah kepada guru dan terutama anak. Dengan begitu kualitas pendidikan dapat tetap terjaga.   

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi