Advertisement
Analisis | UU Cipta Kerja Belum Menjamin Buka Banyak Lapangan Kerja - Analisis Data Katadata
ANALISIS

UU Cipta Kerja Belum Menjamin Buka Banyak Lapangan Kerja

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Pemerintah berharap omnibus law UU Cipta Kerja mampu membuka lebih banyak lapangan pekerjaan melalui peningkatan investasi. Padahal, mengacu data BKPM, realisasi investasi dalam rentang 2016-2019 meningkat, tapi serapan tenaga kerja justru menurun. Mengapa?
Dimas Jarot Bayu
14 Oktober 2020, 15.00
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Presiden Joko Widodo (Jokowi) optimistis Undang-undang (UU) Cipta Kerja dapat meningkatkan investasi, yang berbuntut kepada semakin banyaknya pembukaan lapangan kerja.  Hal ini menjawab kebutuhan lapangan pekerjaan karena setiap tahun ada sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja baru.

Pertimbangan lainnya, jumlah pengangguran semakin besar karena terdampak pandemi virus corona Covid-19. Menurut Jokowi, saat ini angkanya sekitar 6,9 juta orang. Sementara jumlah pekerja terdampak pandemi corona mencapai 3,5 juta orang.

“Jadi Undang-undang Cipta Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat 9 Oktober lalu. 

Benarkah argumen Jokowi bahwa peningkatan investasi bisa membuka lapangan kerja yang lebih besar bagi masyarakat? Kenyataannya tidak demikian.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penananaman Modal (BKPM), realisasi investasi yang masuk ke Indonesia setiap tahunnya selalu meningkat dalam rentang 2015-2019. Pada 2015 sebesar Rp 545,4 triliun. Setahun setelahnya menjadi Rp 621,8 triliun dan pada 2017 mencapai Rp 692,8 triliun. Berlanjut menjadi menjadi Rp 721,3 triliun pada 2018 dan Rp 809,6 triliun pada tahun lalu.

Kontribusi terbesar realisasi investasi pada 2019 berasal dari penanaman modal asing (PMA) yang sebesar Rp 423,1 triliun. Sementara, realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp 386,5 triliun.

Akan tetapi, serapan tenaga kerja dari investasi justru terus menurun pada 2015-2018. Pada 2015, jumlah tenaga kerja terserap 1,44 juta orang. Setahun setelahnya, mencapai 1,39 juta orang. Lalu, pada 2017 turun lagi menjadi 1,18 juta orang dan pada 2018 sebanyak 959,5 ribu orang. Baru pada 2019, kembali meningkat mencapai 1,03 juta orang.

Tak selarasnya serapan tenaga kerja dengan realisasi investasi karena sektor jasa mendominasi nilai modal yang masuk ketimbang manufaktur. Pada 2019, nilai investasi ke sektor jasa mencapai Rp 465,4 triliun atau 57,5% dari total investasi sebesar Rp 809,6 triliun. Sedangkan, investasi ke sektor manufaktur hanya sebesar Rp 215,9 triliun atau 26,7%.

Nilai investasi ke sektor manufaktur pun terlihat telah menurun mulai 2016. Pada tahun itu, nilainya Rp 335,8 triliun. Kemudian berkurang menjadi Rp 274,7 triliun pada 2017. Berkurang lagi menjadi Rp 222,3 triliun pada 2018.  

Padahal, sektor manufaktur merupakan industri padat karya yang lebih banyak merekrut tenaga kerja. Sebaliknya, sektor jasa rata-rata merupakan industri padat modal yang minim penyerapan tenaga kerja.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi pekerja dari sektor manufaktur sebesar 14,96% pada 2019. Ini merupakan yang tertinggi ketiga dari 17 sektor yang ada. Jumlah tenaga kerja paling besar berasal dari industri makanan, industri pakaian jadi, dan industri kayu, barang dari kayu dan gabus, serta barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya.

Selain itu, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pada awal Februari lalu pernah menyatakan investasi yang masuk ke Tanah Air lebih banyak menggunakan teknologi tinggi. Padahal, keterampilan yang dimiliki tenaga kerja di Indonesia masih rendah.

Rendahnya keterampilan terlihat dari besarnya jumlah tenaga kerja yang berpendidikan tertinggi hanya sampai sekolah dasar (SD). BPS mencatat 50,95 juta tenaga kerja dengan tingkat pendidikan terakhir SD ke bawah pada Februari 2020. Jumlah tersebut jauh lebih banyak dibandingkan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan di atasnya.  

Akibat dari rendahnya jumlah tenaga kerja terampil adalah produktivitas pekerja Indonesia kalah dari beberapa negara tetangga di Asia Tenggara. Berdasarkan data Asian Productivity Organization pada 2016, produktivitas tenaga kerja dalam negeri masih sebesar US$ 24,9 ribu terhadap total PDB per tahun. Berada di bawah Singapura, Malaysia, Sri Lanka, dan Thailand.

Atas dasar itu, pemerintah seharusnya terlebih dahulu meningkatkan keterampilan tenaga kerja ketimbang menggenjot investasi melalui UU Cipta Kerja. Niscaya produktivitas mereka akan meningkat. Alhasil, angkatan kerja akan semakin banyak yang terserap ke industri.

Sejauh ini, upaya mendorong keterampilan tenaga kerja di Indonesia tak cukup banyak disinggung dalam BAB IV Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Salah satu upaya meningkatkan keterampilan tenaga kerja yang tampak dengan mengadakan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, program tersebut akan memberikan manfaat bagi tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya berupa pelatihan kerja. “Yang paling penting ketika dia di-PHK, membutuhkan skill baru. Maka, diberikan reskilling, up skilling,” kata Ida dalam konferensi pers virtual, Rabu 7 Oktober.

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi