Setelah lebih satu tahun menerapkan belajar online, pemerintah akhirnya menyalakan lampu hijau belajar tatap muka. Kendati jumlah kasus Covid-19 masih tinggi, pemerintah lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri mengizinkan pembukaan sekolah secara terbatas.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pun mencatat tiga alasan yang menyebabkan pemerintah mengizinkan pembelajaran tatap muka (PTM).
Pertama, risiko anak putus sekolah. Hal ini sejalan dengan hasil pemantauan dampak Covid-19 terhadap anak-anak dari keluarga miskin yang dilakukan Unicef. Badan PBB tersebut menemukan sekitar 938 anak usia 7-18 tahun mengalami putus sekolah akibat pandemi.
Dari 938 anak, 74% dilaporkan putus sekolah karena alasan ekonomi yang menyebabkan kesulitan mengakses sekolah online.
“Anak-anak yang hanya mengikuti proses pembelajaran dari rumah berisiko lebih besar untuk putus sekolah,” kata Hiroyuki Hattori, Chief of Education Unicef, dalam peluncuran Strategi Nasional Penanganan Anak tidak Sekolah (ATS), pada 23 Desember 2020.
“Itu diakibatkan kurangnya fasilitas untuk belajar daring dan terbatasnya monitoring oleh sekolah dan pemerintah desa.”
Potensi putus sekolah dua kali lebih besar terjadi pada anak penyandang disabilitas. Sementara anak perempuan 10 kali lebih besar kemungkinan untuk putus sekolah karena pernikahan dini. Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung menyebutkan terdapat peningkatan dispensasi kawin tiga kali lipat dari 23.126 pada 2019 menjadi 64.211 pada 2020.
“Ketika anak tidak lagi datang sekolah, terdapat peningkatan risiko untuk pernikahan dini, eksploitasi anak terutama perempuan, dan kehamilan remaja,” tulis Kemdikbud dalam rilisnya Selasa, 30 Maret 2021.
Kedua, risiko kekerasan terhadap anak dan risiko eksternal lainnya. Survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 8-14 Juni 2020 menyebutkan, banyak anak yang mendapatkan kekerasan fisik saat sekolah daring di rumah. Survei tersebut dilakukan terhadap 25.164 anak di 34 provinsi. Mereka mengaku kerap dicubit, dipukul, hingga diinjak saat belajar daring.
Ironinya, mayoritas pelaku justru berasal dari keluarga inti, yakni ibu (60,4%), kakak atau adik (36,5%), dan ayah (27,4%). Patut diduga, belajar online memindahkan beban pengajaran yang selama ini di sekolah ke rumah. Hal ini menambah beban orang tua, terutama ibu, di tengah masa pandemi. Di satu sisi mengurus rumah tangga, di sisi lain mengawasi pelajaran anak-anak.
Sementara terkait risiko eksternal, KPAI mencatat banyak anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia. Hingga 31 Agustus 2020, terdapat 26 kasus anak sebagai korban pekerja, 18 korban prostitusi, 16 korban perdagangan anak, 15 korban eksploitasi seks komersial anak, sembilan korban adopsi illegal, dan empat kasus anak sebagai pelaku muncikari.
Ketiga, risiko penurunan capaian belajar. Berdasarkan laporan Bank Dunia berjudul “Janji Pendidikan Indonesia 2020“, penutupan sekolah berpotensi menurunkan kemampuan membaca anak-anak.
Bank Dunia memprediksi skor membaca anak sekolah Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) turun sebesar 16 poin. Penurunan tersebut berpotensi menyebabkan kehilangan pendapatan tahunan sebesar US$ 367 per orang di masa depan.
Meskipun pendidikan tatap muka dinilai penting, tapi pemerintah perlu membenahi penanganan pandemi Covid-19. Terutama dalam menekan jumlah kasus baru Covid-19.
Kemudian meningkatkan pengawasan terhadap sekolah dalam menerapkan protokol kesehatan. Meskipun secara persentase anak-anak penderita Covid-19 lebih rendah, tapi risiko penularan tetap tinggi.
Editor: Aria W. Yudhistira