Ada 9.917 calon legislatif (caleg) yang bersaing memperebutkan 580 kursi DPR RI dalam Pemilu 2024. Jika dirata-ratakan, artinya satu kursi diperebutkan 17 orang caleg. Ketatnya persaingan, membuat 18 partai yang berlaga mendaftarkan caleg yang memiliki kemungkinan menang terbesar. Meskipun pilihan ini dinilai kurang representatif terhadap kepentingan konstituen.
Salah satunya adalah minimnya caleg perempuan. Hanya ada 3.676 atau 37% caleg perempuan yang ikut pemilu tahun ini. Porsinya lebih rendah dibandingkan pemilu sebelumnya yang mencapai 40%. Partai-partai pun gagal memenuhi tingkat afirmasi 30% perempuan di tiap daerah pemilihan (dapil). Hanya satu partai, yakni PKS yang dapat memenuhinya.
Kemudian tujuh dari 10 caleg yang bersaing berusia di atas 40 tahun. Padahal, mayoritas pemilih adalah milenial dan generasi Z yang mencapai 56,45%.
Jakartasentrisme Caleg
Minimnya representasi pun terlihat dari banyaknya caleg yang berdomisili di Jakarta. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, hampir seperempat (24%) atau 2.376 caleg yang beralamat di ibu kota. Sebagai provinsi yang penduduknya hanya mencakup 3,78% dari total penduduk nasional, jumlah caleg asal Jakarta ini cukup mendominasi.
Mayoritas dari mereka tidak bertarung di dapil Jakarta. Hanya 314 caleg yang bersaing merebut 21 kursi DPR di tiga dapil Jakarta. Selebihnya, 2.062 caleg tersebar di dapil-dapil di 37 provinsi non-Jakarta.
Jawa Barat adalah tujuan utama para caleg asal Jakarta ini. Total ada 462 orang yang memperebutkan 91 kursi di 11 dapil Jawa Barat. Secara geografis, Jawa Barat memang dekat dengan Jakarta. Ini yang mungkin menyebabkan banyak caleg Jakarta bertarung di dapil sekitar Jakarta.
Namun secara proporsional, caleg Jakarta terbesar ada di Jawa Tengah. Lebih dari separuh (56,97%) caleg yang maju di Jawa Tengah berasal dari Jakarta. Di sini, Perindo paling banyak mengirim caleg Jakartanya, sampai 40 caleg.
Secara nasional, Perindo merupakan pengirim caleg ke luar Jakarta terbanyak. Partai yang dipimpin bos MNC Hary Tanoesoedibjo ini mengirimkan 211 caleg. Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah terbesar, masing-masing 40 caleg.
Golkar berada di peringkat kedua dengan 183 caleg. Jawa Tengah lagi-lagi menjadi tujuan utama dengan mengirim 36 caleg. Di urutan kedua adalah Jawa Barat sebanyak 34 caleg.
Caleg-caleg ibu kota yang bertarung di luar Jakarta ini juga kebanyakan mendapat nomor urut kecil. Analisis kami menunjukkan terdapat 406 caleg yang memperoleh nomor urut 1. Jika diperluas menjadi nomor urut 1 sampai 3, ada 994 caleg atau 48% dari total 2.062 caleg domisili Jakarta.
Sistem proporsional terbuka dalam pemilu di Indonesia memang memungkinkan pemilih bebas mencoblos nama caleg atau partai. Namun, caleg dengan nomor urut kecil memiliki peluang lebih besar untuk terpilih. Pada Pemilu 2019, sebanyak 64% caleg terpilih memiliki nomor urut 1.
Masalah Keterwakilan Daerah di Parlemen
Peneliti di Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mempertanyakan bagaimana para caleg ini dapat memiliki kedekatan dengan pemilih di dapilnya jika tidak berdomisili di lokasi yang sama.
“Idealnya domisili caleg berada di dapil tempat dia dicalonkan. Dengan begitu, diharapkan caleg mengenal pemilihnya dan begitu pula sebaliknya,” katanya kepada Katadata pada Januari 2024 lalu.
Banyaknya caleg dari Jakarta menyebabkan mayoritas anggota parlemen merupakan penduduk Jakarta. Dari total 575 kursi di DPR periode 2019-2024, sebanyak 209 anggota atau 36% merupakan penduduk Jakarta. Jika dikurangi 21 kursi, maka ada 188 anggota DPR RI yang tinggal di Jakarta tetapi mewakili dapil di luar tempat tinggalnya.
Di beberapa provinsi bahkan anggota DPR RI didominasi orang Jakarta. Bengkulu misalnya, tiga dari empat kursi diduduki orang Jakarta. Di Kalimantan Utara dan Maluku Utara, dua dari tiga kursi juga diisi orang Jakarta.
Jawa Tengah diisi anggota DPR RI asal Jakarta paling banyak, mencapai 33 orang. Dengan total 77 kursi mewakili Jawa Tengah, ini berarti 43% kursi diduduki orang Jakarta.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Muhammad Ihsan Maulana mengatakan, sistem parlemen Indonesia memang punya masalah untuk keterwakilan daerah.
Parlemen Indonesia menganut sistem bikameral atau dua kamar, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Di Indonesia, sistem dua kamar ini terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Ihsan menjelaskan sistem multipartai yang dianut Indonesia menyebabkan anggota DPR sebenarnya mewakili mewakili partai di parlemen, ketimbang masyarakatnya. DPD lebih pas menjadi representasi daerah yang memiliki satu anggota di tiap provinsi.
“Tapi kewenangan penganggaran dan pengawasan DPD tidak sekuat DPR. DPD hanya punya hak sepanjang berkaitan dengan UU daerah. Jadi DPD hanya bisa mengusulkan dan membahas di tingkat satu, tapi ketika naik ke tingkat dua, DPD sudah tidak punya kewenangan,” kata Ihsan pada Katadata pada Januari lalu.
================
Ini adalah bagian pertama liputan khusus Katadata yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) membahas dominasi caleg dan anggota DPR asal Jakarta di luar daerah pemilihan Jakarta. Nantikan tulisan selanjutnya yang membahas cerita, visualisasi, penyebab dan dampak fenomena ini di Katadata.co.id.
Editor: Aria W. Yudhistira