Advertisement
Advertisement
Analisis | Problematika Tak Efektifnya Anggaran Pendidikan di Indonesia - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Problematika Tak Efektifnya Anggaran Pendidikan di Indonesia

Foto: Katadata/ Ilustrasi/ Bintan Insani
Wacana penggunaan dana BOS untuk membiayai program makan siang gratis calon presiden Prabowo Subianto menunjukkan sektor pendidikan belum menjadi program prioritas. Pengurangan anggaran pendidikan berpotensi menurunkan kualitas, seperti terlihat dari hasil penilaian PISA yang dikeluarkan OECD.
Dini Pramita
16 Maret 2024, 13.05
Button AI Summarize

Wacana pemanfaatan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membiayai program makan siang gratis menunjukkan rendahnya dukungan pemerintah terhadap pendidikan. Semestinya pemerintah lebih serius menyelesaikan persoalan pendidikan yang masih membutuhkan dukungan anggaran.

“Idealnya harus mendahulukan problem prioritas, daripada pelunasan janji kampanye demi populisme,” kata Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), pada Senin, 4 Maret 2024.

Menurut Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti, wacana pengalihan dana BOS merupakan wujud ketidakberpihakan negara pada layanan pendidikan yang adil dan berkualitas. Hal ini sekaligus menunjukkan kegagalan pemerintah memahami esensi kebijakan dana BOS. 

“Data Bank Dunia menunjukkan anak-anak Indonesia tidak kekurangan makan, sehingga makan siang gratis tidak akan menjawab persoalan di sektor pendidikan,” kata dia kepada Katadata, pada Rabu 6 Maret 2024.

Retno mengatakan apabila pemerintah ingin berinvestasi pada SDM Indonesia, yakni anak-anak yang sehat dan cerdas, seharusnya diberikan pada seribu hari pertama kehidupan. Dimulai dari masa kehamilan hingga anak berusia sekitar dua tahun. 

“Tetapi untuk meningkatkan kualitas SDM, diperlukan peningkatan kualitas pendidikan yang memastikan akses pendidikan terjangkau dan berkualitas untuk semua anak Indonesia. Di situ negara harus hadir,” kata dia.

Gambaran Rendahnya Kualitas Pendidikan

Ubaid dan Retno merujuk pada hasil kajian Programme for International Student Assessment (PISA) sebagai ukuran untuk menilai kualitas pendidikan di tanah air. Dalam laporan PISA terbaru yang dirilis Desember 2023, indeks kemampuan siswa usia 15 tahun Indonesia dalam matematika, sains, dan membaca mengalami penurunan.

Bahkan, menurut laporan tersebut, Indonesia belum pernah mendekati batas rata-rata dari negara-negara OECD. Padahal, Indonesia mengincar keanggotaan OECD pada 2027. Secara umum, Indonesia termasuk 15 negara penghuni peringkat terbawah di seluruh kategori yang menjadi perhatian PISA. 

Menurut laporan PISA, salah satu penyebab rendahnya skor kemampuan siswa Indonesia adalah anggaran untuk pendidikan yang masih rendah yaitu sekitar US$ 19.700 per tahun per siswa berusia 6-15 tahun. Anggaran yang lebih tinggi dikaitkan dengan skor yang lebih tinggi dalam PISA.

Persoalan lainnya yang menjadi sorotan adalah kurangnya staf pengajar. Pada 2022, sebanyak 18% kepala sekolah melaporkan kegiatan belajar terhambat lantaran kekurangan guru. Selain itu, sebanyak 13% di antaranya melaporkan staf pengajar dengan kualifikasi rendah. 

Dalam laporan itu, PISA menyebutkan siswa yang bersekolah di sekolah yang kekurangan staf pengajar, cenderung mendapat nilai matematika lebih rendah dibandingkan dengan siswa di sekolah yang tidak mengalami kekurangan staf pengajar.

Lebih lanjut, menurut Retno, rendahnya nilai PISA Indonesia menunjukkan daya analitik dan penalaran yang juga rendah. “Indonesia ini kuat dalam menghafal, tetapi begitu menganalisis dari fakta A dan B, ada kelemahan. Di Indonesia, sekolah swasta yang berbiaya mahal cenderung lebih unggul untuk ini,” kata dia. 

Sebab itu, kata Retno, untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas diperlukan anggaran yang cukup tinggi. “Jika pemerintah berpihak pada peningkatan kualitas pendidikan yang tentu saja berbiaya mahal, pemerintah harus mendukung pula dari sisi pembiayaan. Ini memang sudah menjadi peran pemerintah,” kata dia. 

Anggaran Pendidikan yang Rendah

Meski telah mengakomodasi alokasi wajib 20% terhadap APBN, anggaran pendidikan masih berada di bawah rata-rata negara OECD. Rata-rata, anggaran pendidikan Indonesia berada di kisaran 2%-3,5% terhadap PDB. 

Alokasi tersebut di bawah standar UNESCO sebesar 4%-6%. Dengan alokasi sebesar ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia. Nilai yang lebih tinggi dari 4%-6% menunjukkan pemerintah negara tersebut memiliki prioritas kebijakan yang besar untuk pendidikan. 

“Nilai minimal 4%-6% diperlukan untuk memenuhi target pendidikan dalam Education 2030 Framework for Action,” tulis UNESCO dalam situs webnya. Adapun The Education 2030 Framework for Action merupakan sebuah kerangka aksi pendidikan yang diadopsi 184 negara anggota UNESCO, termasuk Indonesia, pada 4 November 2015 di Paris. 

Problematika Alokasi Anggaran Pendidikan 

Persoalan lain dari anggaran pendidikan di Indonesia adalah alokasinya yang tersebar di berbagai kementerian/lembaga. Pada 2024, pemerintah menganggarkan sebesar Rp665 triliun untuk pendidikan atau sebesar 20% dari total APBN. 

Dari total anggaran itu, alokasi belanja untuk kementerian dan lembaga di pemerintah pusat ditetapkan sebesar Rp241,5 triliun. Dari jumlah tersebut, anggaran yang dikelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi adalah sebesar Rp98,99 triliun atau sebesar 14,88% dari total alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2024. Jumlah ini hanya sebesar 3% dari total APBN 2024.

Alokasi untuk Kemendikbudristek dibagi lagi peruntukannya untuk membiayai enam program yaitu: Program PAUD dan Wajib Belajar 12 Tahun; Program Kualitas Pengajaran dan Pembelajaran; Program Pendidikan Tinggi; Program Pemajuan dan Pelestarian Bahasa, dan Kebudayaan; Program Pendidikan dan Pelatihan Vokasi; dan Program Dukungan Manajemen. 

Selain untuk Kemendikbud Ristek, anggaran untuk pemerintah pusat dengan fungsi pendidikan dialokasikan pula kepada Kementerian Agama, Kementerian Sosial, dan kementerian lainnya sebesar Rp95,16 triliun atau menempati porsi sebesar 14,3% dari seluruh anggaran untuk pendidikan. Jumlah ini kurang lebih setara dengan 3% dari total APBN.

Porsi terbesar dari alokasi anggaran untuk pendidikan adalah transfer ke daerah sebesar Rp346,56 triliun atau sebesar 52,11% dari total alokasi 2024, atau setara dengan 11% dari total APBN 2024. Anggaran transfer ke daerah dialokasikan untuk membiayai Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik, Tunjangan Profesi Guru (TPG), Dana Alokasi Umum (DAU), hingga Bantuan Operasional Sekolah (BOS). 

Selain itu, anggaran APBN untuk fungsi pendidikan dialokasikan pula untuk belanja non-kementerian/lembaga sebesar Rp47,31 triliun atau sekitar 7% dari alokasi 2024.  

Anggaran yang dikelola oleh Kemendikbud Ristek sebesar Rp99,8 triliun tersebut nilainya lebih sedikit dibandingkan anggaran yang dikelola Kementerian PUPR sebesar Rp147 triliun dan Kementerian Pertahanan sebesar Rp139 triliun. 

Sedangkan khusus untuk dana BOS yang dianggarkan sebesar Rp57 triliun, alokasinya terbagi menjadi dana BOS sebesar Rp52,07 triliun, dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebesar Rp 3,9 triliun, dan dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan sebesar Rp 1,55 triliun.

Dari anggaran dana BOS sebesar Rp52,07 triliun, alokasinya disalurkan kepada: 219.684 sekolah dasar dengan 43,67 juta peserta didik sebesar Rp22,72 triliun; 41.733 sekolah menengah pertama dengan 9,82 juta peserta didik sebesar Rp11,65 triliun; 13.949 sekolah menengah atas dengan 5,17 juta peserta didik sebesar Rp8,41 triliun. 

Menurut Retno, jika dibagi per siswa, maka setiap siswa berhak menerima dana BOS per tahun sekitar Rp900 ribu untuk jenjang SD, Rp1,1 juta per tahun untuk jenjang SMP. Ia mengatakan dana BOS diperuntukkan untuk memenuhi operasional sekolah untuk membeli alat tulis, membayar tagihan listrik dan air, hingga membayar guru honor. Menurut dia, jumlahnya pun masih tergolong rendah untuk memenuhi operasional sekolah.

================

Artikel ini adalah bagian pertama dari tulisan mengenai dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). 

Editor: Dini Pramita


Button AI Summarize