Sistem empat hari kerja dalam sepekan alias compressed work schedule (CWS) adalah salah satu bentuk dari konsep fleksibilitas waktu bekerja. Konsep ini banyak dipilih perusahaan pasca-pandemi Covid-19. Negara-negara pelopor di Eropa dan Amerika Serikat menyebut bahwa CWS berdampak positif bagi work-life balance dan pada akhirnya pada kinerja serta produktivitas pegawai.
Work life balance adalah konsep di mana keseimbangan yang ideal terjadi antara waktu untuk bekerja dan waktu untuk diri sendiri maupun keluarga. Dampaknya juga bakal terjadi pada penurunan tingkat stres pekerja. CWS memadatkan hari kerja dari lima hari menjadi empat hari kerja dengan jam kerja yang lebih panjang. Namun, sebagai kompensasinya pekerja dapat mengambil hari libur tambahan.
Penelitian di Kanada menyebut bahwa CWS memberi kesempatan kepada pegawai yang memiliki anak menghabiskan waktu lebih banyak untuk merawat anak-anak mereka. Menurut riset yang sama, perubahan yang paling mencolok setelah penerapan CWS adalah munculnya semangat untuk kembali bekerja setelah libur.
Dalam konteks uji coba Kementerian BUMN, jam kerja yang harus dipenuhi pegawai dalam sepekan adalah 40 jam. Artinya, jika dipadatkan menjadi empat hari kerja, rata-rata pegawai bekerja 10 jam per hari kerja. Dalam sebulan, pegawai Kementerian BUMN bisa menerapkan CWS maksimal dua kali. Uji coba ini diikuti dari jajaran Eselon II sampai staf pelaksana.
Sebelum Indonesia, setidaknya terdapat 30 negara yang telah melakukan uji coba CWS dan menerapkannya dalam sektor publik. Dari 31 negara, 26 negara yang melakukan uji coba CWS adalah negara berpenghasilan tinggi (high income country) yang mayoritas ada di Eropa. Sedangkan hanya lima negara berpenghasilan menengah ke atas (upper-middle income) yang melakukan uji coba CWS, termasuk Indonesia.
Negara berpendapatan tinggi memiliki pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita di atas US$13.845. Indonesia bergabung sebagai negara yang menerapkan uji coba CWS dengan PNB per kapita masih di angka US$4.870 pada 2023, terendah di antara negara CWS lainnya.
Belum Tentu Meningkatkan Produktivitas
Tidak semua uji coba CWS berakhir positif. Beberapa penelitian , termasuk penelitian Lee (2021) menyebutkan penerapan CWS tidak memiliki dampak pada produktivitas sama sekali. Justru ada dampak negatif karena meningkatkan kelelahan, penyakit, hingga penurunan level kognitif akibat jam kerja yang lebih panjang menjadi 10 sampai 12 jam sehari.
Penelitian di Filipina menunjukkan adanya korelasi antara level stres dengan produktivitas karyawan. Namun, tidak ditemukan dampak langsung antara CWS dengan work-life balance.
Stres yang disebabkan oleh lingkungan pekerjaan –masalah-masalah dan ketidakpuasan pekerja, termasuk dalam bekerja dalam tim, dan sebagainya– berpengaruh lebih terhadap tingkat stres dan work-life balance dibandingkan dengan pengaturan jadwal dan durasi kerja. Padahal tingkat stres inilah yang berpengaruh terhadap produktivitas.
Produktivitas kerja sendiri dihitung berdasarkan output yang dihasilkan tenaga kerja dalam rentang durasi kerja yang ada. Peningkatan produktivitas kerja ini menjadi salah satu indikator bahwa terjadi peningkatan standar hidup dan peningkatan konsumsi di negara tersebut.
Indonesia adalah negara dengan produktivitas terendah di antara 31 negara yang menerapkan CWS. Tingkat produktivitas ini diukur lewat produk domestik bruto (PDB) per jam kerja. PDB per jam kerja Indonesia hanya US$14, sedangkan negara dengan produktivitas tertinggi yang menerapkan CWS yaitu Irlandia berada di angka US$143.
Produktivitas Indonesia ini bahkan tertinggal jauh dari negara-negara tetangga seperti Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia yang tidak menerapkan CWS.
Indonesia Didominasi Sektor Informal
Di samping kondisi perekonomian dan tingkat produktivitas, lanskap ketenagakerjaan suatu negara juga dapat berpengaruh terhadap keberhasilan CWS. Di mayoritas negara yang telah melakukan uji coba CWS, mayoritas struktur tenaga kerjanya didominasi oleh sektor formal. Sedangkan sektor informal rata-rata di bawah 40%. Indonesia di sisi lain, sebesar 81,2% struktur tenaga kerjanya adalah buruh informal.
Tidak mudah untuk menerapkan CWS pada sektor informal. Lanskap kerja sektor formal dan informal berbeda. Bukan hanya dalam hal kualifikasi pendidikan, tetapi juga terkait kultur lamanya jam kerja, beban kerja, jaminan dan hak-hak pekerja, dan sejenisnya.
Menurut penelitian di Tiongkok, dominasi sektor informal ini disebut sebagai pedang bermata dua dalam hal manajemen work-life balance. Berbagai aturan yang terkait dengan manajemen work-life di sektor formal malahan kurang efektif bahkan kontraproduktif, jika diterapkan pada perusahaan dengan dominasi sektor informal.
Indonesia memiliki maksimum jumlah kerja 40 jam yang ditentukan pemerintah. Menurut penelitian Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), ada perbedaan mencolok antara jam kerja buruh formal dan informal. Sebesar 60% pekerja formal di dunia, bekerja dalam rentang durasi jam ideal yakni 35 sampai 48 jam seminggu. Sedangkan dua per tiga pekerja informal bekerja di luar jam normal sebab sektor informal seringkali tidak terjamah undang-undang. Kondisi jam kerja ini lebih ekstrem pada negara berpenghasilan rendah.
Negara upper-middle income dan high income tidak memiliki perbedaan mencolok pada persentase buruh formal dengan jam kerja ideal, yaitu di kisaran 66% sampai 68%. Namun, ketika bergeser ke sektor informal, sebesar 44% buruh dari negara upper-middle income bekerja lebih dari 48 jam. Sedangkan hanya 11% buruh informal negara high income yang bekerja lebih dari 48 jam. Artinya, buruh sektor informal di negara upper-middle income lebih rawan bekerja lembur dibandingkan di negara high income.
Di dunia, 41% pekerja informal bekerja lebih dari 48 jam. Sedangkan hanya 28% pekerja formal yang bekerja lebih dari 48 jam. Kondisi paling ekstrem terjadi wilayah Asia Pasifik, yang meliputi Indonesia. Sebesar 38% buruh formal dan 53% buruh informal di wilayah Asia Pasifik, bekerja lebih dari 48 jam. Sedangkan di wilayah Eropa dan Asia Tengah yang banyak menerapkan uji coba CWS, hanya 8% buruh formal dan 12% buruh informal yang bekerja lebih dari 48 jam.
Penelitian Moore (2007) menggarisbawahi kondisi masing-masing negara mempengaruhi adanya perbedaan penerimaan kebijakan CWS antara buruh formal dan informal. Di Inggris, ditemukan bahwa dengan praktik kerja yang fleksibel, level buruh informal dan level manajerial sama-sama diuntungkan. Bahkan buruh informal lebih diuntungkan karena tidak berada dalam situasi persaingan kerja yang ketat di level atas hingga berpengaruh ke level stres. Namun, situasi ini bisa terjadi di Inggris sebab lapangan pekerjaan untuk sektor informalnya besar dan status ekonomi negaranya sedang baik.
Dampak Bertambahnya Hari Libur
Jika melihat salah satu alasan penerapan CWS yaitu agar pekerja dapat menggunakan waktunya untuk keluarga dan melepas stres. Maka salah satu yang diharapkan dengan adanya CWS adalah para pekerja bakal memanfaatkan waktu liburnya untuk berwisata. Dengan begitu, sektor pariwisata juga dapat menggeliat.
Mayoritas masyarakat Indonesia berdasarkan beberapa survei memang menunjukkan bakal berwisata ketika masuk musim liburan. Survei Bank Digital Jenius pada libur lebaran 2024 misalnya, menyebut 27% responden bakal berwisata baik di dalam maupun luar negeri. Porsi ini masih lebih besar dari 23% responden yang menyebut bakal istirahat di rumah.
Selepas pandemi, sektor pariwisata memang kembali meningkat. Dilihat dari jumlah wisatawan setiap bulan pada 2023 terlihat peak season terjadi pada bulan-bulan di mana libur panjang terjadi, seperti libur tahun baru, libur lebaran, libur sekolah, hingga libur akhir tahun.
Namun, beberapa penelitian menyebutkan bahwa nominal pendapatan masyarakat seringkali menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan untuk berwisata. Ketika banyak keluarga yang memasuki kelompok pendapatan lebih tinggi, maka permintaan untuk berwisata meningkat lebih cepat.
Beberapa lembaga survei di Amerika menunjukkan bahwa tren wisata, terutama wisata mancanegara didominasi oleh kalangan berpendapatan tinggi. Pada survei oleh Gallup tahun 2005 misalnya, 90% responden berpendapatan di atas US$75 ribu per tahun berwisata dalam setahun terakhir, sedangkan responden yang berpendapatan di bawah US$20 ribu per tahun hanya 29% yang berwisata.
Jika melihat wisatawan nasional pada 2023 berdasarkan pekerjaan utama, memang kelompok terendah yang melakukan perjalanan untuk berlibur adalah mereka golongan pekerja terampil dan pekerja kasar (5,78%). Sedangkan golongan terbanyak yang berlibur adalah mereka yang pekerjaan utamanya sebagai profesional (34,45%). Artinya, tidak semua golongan dapat menikmati hari libur untuk berwisata.
Dibandingkan dengan negara-negara di Eropa, jumlah libur nasional dan cuti bersama di Indonesia bisa mencapai lebih dari dua kali lipatnya. Tahun ini saja, Indonesia tercatat memiliki 28 hari libur, terbanyak di antara negara anggota ASEAN dan terbanyak di antara negara yang menerapkan uji coba CWS.
Hari libur bagi buruh informal yang mendapat gaji harian artinya tidak digaji. Semakin banyak hari libur, termasuk jika menerapkan CWS, artinya semakin berkurang pendapatan para pekerja ini.
Editor: Aria W. Yudhistira