Dua tahun setelah lulus dari salah satu kampus di Tangerang, Banten, Indah Suci (25) masih kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya. Dia telah mencoba mendaftar ke sejumlah perusahaan ternama, tetapi tidak kunjung mendapatkan balasan. Menurutnya, syarat yang paling sulit dipenuhi adalah pengalaman kerja.
“Bagaimana mau dapat pengalaman jika tidak diberi kesempatan?” kata Indah kepada Katadata.co.id pada Rabu, 12 Juni.
Indah akhirnya memutuskan mengambil sejumlah kesempatan sebagai pekerja lepas untuk menambah pengalaman. Dia juga mengambil program sertifikasi yang bisa memperkaya resume-nya, serta menyisihkan tabungan untuk mengambil kursus bahasa asing.
Namun, sebagai pekerja lepas, dia tidak memiliki penghasilan yang ajek. Dia juga tidak bisa meneruskan kursus. Tahun ini, di usia 25 tahun, dia kembali menganggur. Indah masih berusaha melamar ke beberapa perusahaan, meski sadar tidak lagi dianggap sebagai gen z fresh graduate yang didambakan perusahaan.
Kesempatannya semakin menipis sebab bersaing dengan angkatan kerja yang lebih muda. “Apalagi ada perusahaan memberi maksimal usia, kadang batas usianya 25 tahun,” katanya.
Secara demografi, Indah termasuk gen z dalam golongan NEET. NEET adalah istilah untuk anak muda yang tidak memiliki kegiatan sama sekali atau not in employment, education, and training.
Mereka yang tergolong NEET di Indonesia adalah anak muda dengan rentang usia 15 sampai 24 tahun yang termasuk angkatan kerja tetapi menganggur. Mereka juga bukan angkatan kerja yang mengurus rumah tangga, dan tidak sedang menempuh pendidikan maupun mengikuti pelatihan atau kursus.
Indah tidak sendirian. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 9,9 juta gen z atau 22,25% anak muda Indonesia tergolong dalam NEET pada 2023. Porsi NEET sempat melonjak pada 2020 akibat Pandemi Covid-19 menjadi 24,28%, sebelum kembali melandai pada tahun berikutnya. Meskipun ada penurunan, porsi NEET di Indonesia masih sedikit di atas rata-rata NEET dunia sebesar 21,6%.
Saat ini, atau pada periode 2020-2035, Indonesia tengah berada di puncak bonus demografi. Bonus demografi adalah kondisi ketika jumlah penduduk produktif melebihi jumlah penduduk usia non-produktif. Anak muda terutama generasi Z disebut-sebut akan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi negara.
Yang jadi soal, bonus demografi malah bisa merugikan perekonomian negara jika pertumbuhan angkatan kerjanya tidak disertai dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Hal itu dapat menimbulkan pengangguran terbuka yang semakin meningkat.
Nyatanya, gen z saat ini masih banyak yang menganggur. Anak muda usia 15-24 tahun cenderung lebih banyak menganggur dibandingkan angkatan kerja usia produktif lainnya. Hal ini terlihat pada tingkat pengangguran terbuka usia 15-24 tahun yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan angkatan kerja yang lebih tua cenderung semakin sedikit yang menganggur.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyebutkan bahwa banyaknya anak muda yang menganggur ini adalah sebab banyak yang tidak kunjung mendapat pekerjaan dan masih mencari pekerjaan.
Di berbagai negara, NEET mengindikasikan kondisi perekonomian suatu negara. International Labour Organisation (ILO) menyebut bahwa negara berpendapatan menengah-ke bawah cenderung memiliki persentase NEET yang tinggi dibandingkan negara berpenghasilan menengah-ke atas.
Pertumbuhan ekonomi yang rendah menyebabkan terjadinya pengurangan tenaga kerja dan perusahaan menghentikan proses rekrutmen. Lapangan kerja baru jadi terhambat dan kesempatan kerja terutama di sektor formal menjadi terbatas.
Indonesia adalah negara dengan persentase NEET tertinggi di ASEAN setelah Timor Leste dan Laos. Tingkat NEET Indonesia masih jauh lebih tinggi daripada negara-negara tetangga seperti Malaysia (10,2%), Singapura (6,6%), Thailand (13,3%), dan Filipina (12,8%).
Menurut Genda (2007), saat fenomena NEET pertama muncul ke permukaan di Jepang, banyak yang menganggap anak muda NEET sebagai anak yang malas dan berasal dari keluarga kaya. Data memang menunjukkan 20% gen z yang menganggur saat itu memiliki pendapatan keluarga lebih dari 10 juta yen per tahun pada 1990-an. Namun proporsi ini menurun pada 2002.
Di sisi lain, terjadi peningkatan proporsi anak muda yang berasal dari keluarga miskin yang menganggur pada 2002. Rata-rata pendapatan keluarga mereka 3 juta yen per tahun. Mereka yang berasal dari keluarga berpendapatan menengah-ke bawah juga kehilangan semangat untuk mencari kerja.
Bukan hanya persaingan kerja yang semakin ketat, anak muda di Jepang juga harus merawat lansia atau anggota keluarga mereka yang sakit. Bagi yang sudah menikah pun harus mengurus anak dan rumah tangga mereka.
Hal ini tentu menampik bahwa anak muda yang tergolong NEET utamanya adalah karena kurang etik kerja. Di Jepang, NEET disebabkan karena ada keadaan ekonomi sosial negara dan kondisi keluarga yang para anak muda tidak bisa kontrol.
Lalu mengapa anak muda Indonesia masih kesusahan mendapat kerja?
Menurunnya Lapangan Kerja Sektor Formal
Jika dibedah berdasarkan provinsi, proporsi NEET terbesar masih didominasi wilayah Indonesia bagian timur. Di Sulawesi Barat, angka NEET pada 2022 mencapai 33,54%. Diikuti Maluku, Maluku Utara, Aceh, Gorontalo, Jawa Barat, hingga Banten. Pada 2020 dan selama lima tahun sebelumnya, Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah NEET tertinggi secara nasional.
Di Indonesia, per Agustus 2023 sebanyak 15,02% atau sebanyak 22 juta angkatan kerja disumbang anak muda rentang usia 15-24 tahun. Jawa Barat dan Banten adalah provinsi dengan proporsi angkatan kerja gen z terbesar di antara provinsi lain di Pulau Jawa, dengan Jawa Barat disumbang 16,26% dan Banten disumbang 16,64% anak muda.
Namun, di dua provinsi ini juga terjadi penurunan porsi tenaga kerja sektor formal yang cukup besar dari antara 2015 dan 2022. Dengan Banten berkurang 9,42% dan Jawa Barat 4,22%.
Dengan jumlah angkatan kerja anak muda yang besar tetapi serapan lapangan pekerjaan sektor formal yang menurun, tidak heran jika gen z yang lantas menganggur dan tergolong NEET di Jawa Barat dan Banten lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya di Pulau Jawa.
Dari 10 provinsi yang menurut BPS memiliki lowongan pekerjaan terbanyak per 2022, sembilan di antaranya mengalami penurunan porsi tenaga kerja sektor formal dan peningkatan porsi tenaga kerja sektor informal. Provinsi-provinsi tersebut adalah Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Timur, dan Bali.
Penurunan sektor formal ini patut menjadi perhatian sebab merupakan sektor yang membutuhkan pekerja dengan kemampuan tertentu sehingga kebanyakan kualifikasinya adalah lulusan pendidikan jenjang SMA/SMK ke atas.
Rata-rata pertumbuhan serapan tenaga kerja sektor formal dari sejak kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo periode pertama dan kedua memang terus mengalami penurunan.
Rata-rata pertumbuhan serapan tenaga kerja formal periode SBY mengalami pertumbuhan 7,60%. Angkanya turun menjadi 3,07% pada periode pertama kepemimpinan Joko Widodo (2014-2019), dan terus menurun menjadi 1,07% pada periode kedua kepemimpinannya.
Pemerintahan Joko memang mengklaim kesuksesannya membuka 10 juta lapangan pekerjaan. Namun pekerjaan ini terkonsentrasi pada padat karya atau sektor informal. Sektor informal memang turut membantu menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran, tetapi ini bakal menjadi jebakan Indonesia untuk terus memiliki pekerja dengan keterampilan rendah. Sektor informal bakal terus mendominasi porsi ketenagakerjaan Indonesia, padahal sektor ini tidak memberi jaminan terhadap tenaga kerja dan tidak berkelanjutan.
Jaminan Pendidikan Tinggi
Secara umum, semakin tinggi anak muda menempuh pendidikan, semakin sedikit risiko untuk masuk ke golongan NEET. Namun, Citra (2022) menyebut bahwa di Indonesia biaya pendidikan yang mahal dan ketatnya masuk ke perguruan tinggi dapat menantang konsep ini.
Jika membedah proporsi anak muda NEET pada 2023 berdasarkan pendidikan akhir, gen z yang masuk ke golongan NEET 3,57 juta adalah lulusan SMA. Diikuti terbanyak lulusan SMK, SMP, dan SD. Terakhir, sebanyak 561 ribu orang lulusan diploma/universitas masuk ke golongan NEET.
Hal yang perlu menjadi catatan adalah kenaikan jumlah lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Pada 2014, porsi lulusan perguruan tinggi (diploma/universitas) yang menganggur adalah 9,5% dari total pengangguran atau sebanyak 688 ribu orang. Porsi ini merangkak naik hingga 13,6% pada 2019 dan menjadi 12,2% atau sebanyak 959 ribu pada 2023.
Nyatanya, mengenyam pendidikan perguruan tinggi tidak menjamin mempermudah mencari kerja, setidaknya pada satu dekade terakhir. Apalagi dengan terus menurunnya porsi lapangan kerja sektor formal yang umumnya membutuhkan kualifikasi pendidikan tinggi.
Pemerintah mengakui bahwa salah satu yang menjadi penyebab tingginya NEET pada anak muda adalah ketidaksesuaian pendidikan dan pelatihan yang diterima anak muda dengan lapangan pekerjaan dan kebutuhan industri.
Beban Ganda bagi Perempuan
Beberapa penelitian di dunia menunjukkan gap yang cukup signifikan antara NEET perempuan dan laki-laki. Risiko menjadi NEET menjadi lebih tinggi terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan akses perempuan baik dalam hal menempuh pendidikan maupun pekerjaan.
Beberapa negara OECD memiliki disparitas antara NEET laki-laki dan NEET perempuan yang tinggi, seperti Brasil (12,2%), Kolombia (20,5%), Kosta Rika (16,9%), Meksiko (22,4%), Rumania (13,1%), dan Turki (20,6%).
Di India yang memiliki populasi anak muda terbesar di dunia, mengalami fenomena NEET yang tinggi pula. Menurut laporan ILO, dari 371 juta anak muda, 103,4 juta masuk ke kategori NEET per 2022. Dan ini didominasi oleh perempuan, di mana dari 103,4 juta NEET, 84,9 jutanya adalah perempuan. Anak muda perempuan banyak yang terlibat dalam kegiatan domestik sehingga partisipasi kerja perempuan di India adalah yang terendah di dunia.
Di Indonesia pada 2023, mayoritas NEET adalah perempuan dengan 5,37 juta anak muda perempuan adalah NEET. Angka itu setara dengan 26,54% generasi muda perempuan Indonesia dan 54,2% dari anak muda NEET Indonesia.
Secara umum jumlah pengangguran anak muda laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Namun jika dilihat, anak muda perempuan yang memiliki pendidikan akhir diploma/universitas (237 ribu) lebih banyak yang menganggur dibandingkan dengan anak muda laki-laki (168 ribu). Artinya, lebih banyak anak muda perempuan lulusan perguruan tinggi yang menganggur daripada laki-laki.
Penelitian Irawati (2019) dan Citra (2022) menunjukkan bahwa faktor utama penyebab tingginya pengangguran dan NEET anak muda perempuan di Indonesia adalah karena banyaknya perempuan yang terlibat mengurus rumah tangga. Angka NEET anak muda perempuan juga lebih tinggi pada mereka yang sudah menikah daripada mereka yang belum menikah. Akibatnya, anak muda perempuan tidak aktif dalam angkatan kerja, termasuk mereka yang merupakan lulusan perguruan tinggi.
Editor: Aria W. Yudhistira