Advertisement
Advertisement
Analisis | Di Balik Alasan Perempuan Menunda Menikah dan Enggan Punya Banyak Anak - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Di Balik Alasan Perempuan Menunda Menikah dan Enggan Punya Banyak Anak

Foto: Katadata/ Ilustrasi/ Bintan Insani
Tingkat kelahiran setiap perempuan di Indonesia turun drastis dalam 50 tahun terakhir. Selain keberhasilan program Keluarga Berencana pada pemerintahan Orde Baru, kondisi ini juga didorong faktor kaum perempuan yang semakin independen.
Leoni Susanto
26 Juli 2024, 09.15
Button AI Summarize

Pernyataan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menjadi sorotan. Saat menanggapi tingkat kelahiran atau total fertility rate (TFR) Indonesia yang terus menurun, dia menyatakan setiap pasangan suami istri setidaknya memiliki satu anak perempuan.

“Untuk menjaga penduduk tumbuh seimbang, dibuat rata-rata (TFR) 2,1. Kalau saya bilang rata-rata satu perempuan melahirkan satu anak perempuan itu harapan, bukan paksaan,” kata Hasto mengklarifikasi pernyataannya pada Rabu, 10 Juli.

Mengapa Hasto spesifik menyebut anak perempuan? Karena demi demografi yang terjaga, setidaknya satu perempuan meninggal digantikan oleh satu perempuan lahir.

Pada 2022, TFR Indonesia memang berada di angka 2,15. Artinya, rata-rata per perempuan Indonesia melahirkan 2,15 anak. Angka ini turun signifikan dibandingkan kondisi 50 tahun lalu. Pada 1973, TFR Indonesia berada di angka 5,22 masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang saat itu 4,42. 

Tingkat kelahiran dunia memang menunjukkan tren penurunan. Sejumlah negara di Asia juga mengalami penurunan TFR yang signifikan, seperti Korea Selatan yang berada di angka 0,9. Padahal pada 1970-an, TFR Korea Selatan masih berada di angka 4,53. Penurunan ini salah satunya karena anak muda yang tertekan dengan biaya hidup, terutama tempat tinggal ketika sudah berkeluarga. 

Dua negara Asia yang memiliki populasi terbanyak di dunia yaitu Tiongkok dan India juga mengalami penurunan yang signifikan karena kebijakan pemerintah, seperti one-child policy di Tiongkok pada 1979 dan two-child policy yang dianut secara lokal di India. Indonesia sendiri meluncurkan program Keluarga Berencana (KB) sejak 1970 yang mengampanyekan “dua anak cukup” dan “dua anak lebih baik”. 

Jika dibedah per rata-rata provinsi di Indonesia, wilayah Maluku dan Papua memiliki TFR tertinggi pada 1970-an, yaitu di angka 7,05. Angka ini menurun drastis pada 2020 menjadi rata-rata 2,6. 

Di Pulau Jawa, TFR masih berada di angka 5,27 pada 1971. Angkanya lalu menurun ke 1,97 pada 2020. Jakarta merupakan provinsi dengan TFR terendah pada 2020, yaitu sebesar 1,75. Artinya, per pasangan menikah memiliki rata-rata satu anak. 

Mengapa Indonesia dan negara-negara lain mengalami penurunan angka kelahiran?

Perempuan Menunda Pernikahan

Tingkat pendidikan perempuan semakin tinggi sebagai buah dari gerakan kesetaraan gender. Ini menyebabkan jumlah perempuan bekerja (employed) dan tingkat kesejahteraan perempuan yang membaik. Alhasil tidak harus bergantung terhadap laki-laki. Hal ini turut mengubah cara pandang perempuan terhadap pernikahan dan memiliki anak yang tidak lagi sebagai prioritas. 

Di Indonesia, kondisi ini terlihat dari angka pernikahan yang kian menurun. Pada 2005, jumlah pernikahan masih berada di angka 2,1 juta. Angka ini menurun drastis menjadi 1,5 juta pada 2023. Pada periode yang sama, terjadi peningkatan jumlah perempuan bekerja dan sekolah. Terdapat 32,5 juta perempuan bekerja pada 2005, yang kemudian meningkat menjadi 54,6 juta perempuan pada 2023.

Menurut Pessin (2018), setelah era baby boomer, demografi dunia melewati fase krusial kemajuan peran perempuan di ranah publik. Kondisi ini turut berdampak pada angka pernikahan dan kelahiran. 

Riset Barroso (2020) menunjukkan bahwa pada kisaran umur yang sama (25-37 tahun), hanya 44% generasi milenial yang sudah menikah, berbeda dengan baby boomers yang berada di porsi 61%. Rata-rata usia perempuan yang menikah pertama kali juga meningkat secara gradual. Per 2019, perempuan menikah pertama kali di usia rata-rata 28 tahun. Sedangkan perempuan boomers rata-rata menikah usia 24 tahun.

Jika melihat sensus penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1990, sebanyak 44,38% perempuan kota usia 20 sampai 24 tahun sudah menikah. Angka ini menurun pada sensus penduduk 2020, di mana hanya 26,26 perempuan kota usia 20-24 tahun yang sudah menikah.

Perempuan tidak lagi memandang pernikahan sebagai jaminan kebahagiaan dan perlindungan masa depan mereka. Semakin banyak perempuan yang memilih untuk bekerja dibandingkan mengurus keluarga dan pekerjaan rumah. Selain itu bagi para perempuan ini, ada ketidakpercayaan yang cukup besar dalam membangun keluarga sebab semakin tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Pada 2023, jumlah perceraian menurun dibandingkan 2022, tetapi persentase perceraian karena faktor KDRT meningkat dari 1,11% tahun 2022 menjadi 1,27 pada 2023.

Enggan Memiliki Banyak Anak

Independensi perempuan tidak hanya berdampak pada turunnya angka pernikahan, tetapi juga terhadap pergeseran paradigma bahwa “banyak anak banyak rejeki”. Bahkan semakin banyak anak muda yang menganut child-free atau keputusan untuk tidak memiliki keturunan. Perempuan tidak lagi memiliki pandangan bahwa mereka hanya sebagai penghasil atau mesin reproduksi anak.

Jika mengacu sensus penduduk 2010, jumlah perempuan muda yang menikah baik di perdesaan maupun perkotaan tidak hanya menurun, melainkan juga jumlah anak yang dilahirkan. Proporsi perempuan muda yang tidak memiliki anak maupun memiliki anak satu terbilang meningkat, sedangkan proporsi perempuan muda yang memiliki anak lebih dari dua terbilang menurun.

Jika dibedah lebih detail, perempuan muda di perdesaan dan perkotaan yang tidak memiliki anak berada di kisaran 16% dan 24% pada 2010. Angka ini meningkat di kisaran 28% dan 32,8% pada 2020. Begitu pula proporsi perempuan muda yang memiliki satu anak. Di sisi lain, terjadi penurunan porsi perempuan muda yang memiliki dua anak, dari di kisaran 24,2% dan 21,1% menjadi di kisaran 12%.

Hal ini dipengaruhi semakin mahalnya biaya hidup, tingginya fenomena generasi sandwich di mana anak muda harus membiayai bukan hanya saudara mereka yang lebih muda tetapi juga orang tua mereka yang memasuki usia lansia. Pasalnya, banyak anak muda yang berpendapat bahwa biaya membesarkan anak tidak murah.

Menurut penelitian di AS, mayoritas sebanyak 60% baby boomers pada usia 25 sampai 34 tahun (tahun 1980-an) sudah memiliki rumah sendiri. Sedangkan pada tahun 2015, baru 43% milenial usia 25-34 tahun yang memiliki tempat tinggal sendiri.

Pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017, rata-rata perempuan Indonesia melahirkan anak pertama pada usia 22,4 tahun. Rata-rata ini disebut meningkat seiring dengan tingkat pendidikan dan kekayaan. 

Misalnya, rata-rata perempuan yang menamatkan perguruan tinggi baru memiliki anak pada usia 27,4 tahun. Berbeda dengan perempuan yang sama sekali tidak sekolah yang menikah pada usia rata-rata 19,6 tahun.

Sedangkan perempuan dengan kekayaan di atas rata-rata menikah pada usia 24,6 tahun, berbeda dengan perempuan dengan kekayaan kelas bawah yang menikah rata-rata pada usia 21,3 tahun.

Editor: Aria W. Yudhistira


Button AI Summarize