Advertisement
Analisis | Ongkos Sosial Jumbo yang Ditanggung Indonesia saat Masuk OECD - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Ongkos Sosial Jumbo yang Ditanggung Indonesia saat Masuk OECD

Foto: Katadata/ Ilustrasi/ Bintan Insani
Bergabung dengan OECD bukan hanya membuka jalan Indonesia masuk ke dalam kelompok negara maju, melainkan juga memiliki konsekuensi fiskal yang lebih tinggi. Terutama dalam meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Bagaimana perbandingan postur belanja sosial negara OECD dan Indonesia?
Puja Pratama
13 Agustus 2024, 10.54
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Indonesia memiliki sejumlah pekerjaan rumah bilamana jadi bergabung dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pada 2027. Salah satunya upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk. Organisasi yang berkantor pusat di Paris, Prancis ini masih mengkaji proses penggabungan Indonesia.

Sebagai organisasi yang berkomitmen untuk kemajuan demokrasi dan ekonomi pasar bebas, salah satu fokus OECD adalah isu kesejahteraan rakyat. Apalagi negara-negara yang tergabung di dalamnya tergolong sebagai pengusung prinsip kesejahteraan (welfare state). 

Ini akan menjadi pekerjaan rumah Indonesia lantaran tingkat kesejahteraan penduduknya –yang tercermin dari produk domestik bruto (PDB) per kapita– masih rendah. Dari data Bank Dunia, PDB per kapita Indonesia hanya sebesar US$4.940 pada 2023, sementara rata-rata PDB per kapita negara OECD adalah US$46.280. Indonesia pun masih di bawah Kolombia yang memiliki PDB per kapita sebesar US$6.979,7. 

Bank Dunia mencatat ada 18,07% penduduk Indonesia dengan pengeluaran harian US$6,85 per hari, dan digolongkan sebagai kelompok masyarakat miskin. Bank Dunia mematok pengeluaran US$6,85 sehari sebagai batas kemiskinan di negara kelompok pendapatan menengah-atas, di mana Indonesia termasuk di dalamnya.

Jika dibandingkan dengan Kolombia yang merupakan negara OECD dengan PDB per kapita paling rendah, penduduk yang masuk golongan ini hanya 34,79%. 

Emile Cammeraat (2020) dalam “The relationship between different social expenditure schemes and poverty, inequality and economic growth” menjelaskan bahwa rendahnya kesejahteraan bisa diatasi dengan belanja sosial. Menurut dia, belanja sosial bisa efektif mengurangi garis kemiskinan.

Hal tersebut sejalan dengan temuan The Prakarsa (2024) dalam publikasinya yang berjudul “Urgensi Menambal Elemen Kesejahteraan dalam Upaya Aksesi Indonesia sebagai anggota OECD” yang dirilis pada 23 Juli lalu. Dalam publikasi tersebut, ditemukan bahwa anggaran belanja sosial Indonesia sangat rendah jika dibanding negara-negara OECD.

OECD mendefinisikan belanja sosial (social expenditures) sebagai pengeluaran negara yang mencakup manfaat tunai, penyediaan barang dan jasa secara langsung, dan keringanan pajak dengan tujuan sosial. 

Data terbaru OECD pada 2019 mencatat bahwa rasio belanja sosial negara-negara OECD terhadap PDB terbilang tinggi. Prancis menjadi yang paling tinggi dengan rasio sebesar 30,1%, di bawahnya ada Belgia dan Jerman dengan rasio masing-masing sebesar 25,6% dan 25,4%. Sementara, Meksiko menjadi negara OECD dengan rasio belanja sosial terendah, sebesar 7,5% terhadap PDB pada 2019.

 

Dalam publikasi OECD berjudul “Society at a Glance: Asia/Pacific 2022”, rasio belanja sosial Indonesia hanya 3% terhadap PDB pada 2019. Jumlah ini jauh lebih kecil dibanding capaian Meksiko pada tahun yang sama. 

Jika membandingkan dengan negara-negara Asia lain, belanja sosial Indonesia dalam catatan OECD bahkan tercatat lebih rendah dibanding negara-negara Asia lain yang juga memiliki PDB lebih rendah.

Penguatan Pajak untuk Belanja Sosial 

Victoria Fanggidae dan Darmawan Prasetya, peneliti dari The Prakarsa, merekomendasikan peningkatan belanja sosial melalui reformasi dan penguatan sektor perpajakan. Artinya, pemerintah perlu meningkatkan rasio pajak. 

Menurut Victoria dan Darmawan, meningkatkan pendapatan pajak juga bisa membantu Indonesia dalam proses masuk OECD. Apalagi, akan ada konsekuensi finansial yang harus ditanggung jika tergabung dalam OECD. 

Indonesia mesti siap tidak lagi menjadi negara penerima bantuan pembangunan, melainkan memiliki tanggung jawab memberikan bantuan pembangunan atau Official Development Assistance (ODA).

Selain itu ada juga kontribusi wajib dan sukarela untuk anggota OECD dengan perhitungan tertentu berdasarkan ukuran ekonomi (PDB) dan jumlah penduduk. Artinya, Indonesia berisiko untuk membayar lebih besar dari negara lain. 

“Dengan ruang fiskal yang sudah cukup sempit, pemerintah perlu menaikkan penerimaan pajak,” tulis Victoria dan Darmawan dalam laporan berjudul “Urgensi Menambal Elemen Kesejahteraan dalam Upaya Aksesi Indonesia sebagai anggota OECD” yang dipaparkan pada 23 Juli lalu.

Ditulis juga, untuk menjadi negara kesejahteraan yang mandiri dan demokratis, penerimaan pajak dan belanja sosial tidak dapat dipisahkan. Pajak juga berfungsi sebagai kontrak sosial, yang akan menumbuhkan mekanisme tanggung gugat yang lebih baik antara warga negara dan pemerintah.

Editor: Aria W. Yudhistira