Advertisement
Advertisement
Analisis | Rapor Merah Belajar Online Saat Pandemi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Rapor Merah Belajar Online Saat Pandemi

Foto: Ilustrasi: Joshua Siringo ringo/ Katadata
Pembelajaran jarak jauh alias belajar online selama pandemi Covid-19 menimbulkan sejumlah persoalan. Unicef menemukan sekitar 938 anak keluarga miskin terpaksa putus sekolah karena keterbatasan akses belajar daring. Selain itu, risiko kekerasan pada anak meningkat.
Dwi Hadya Jayani
14 April 2021, 07.35
Button AI Summarize

Setelah lebih satu tahun menerapkan belajar online, pemerintah akhirnya menyalakan lampu hijau belajar tatap muka. Kendati jumlah kasus Covid-19 masih tinggi, pemerintah lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri mengizinkan pembukaan sekolah secara terbatas.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pun mencatat tiga alasan yang menyebabkan pemerintah mengizinkan pembelajaran tatap muka (PTM).

Pertama, risiko anak putus sekolah. Hal ini sejalan dengan hasil pemantauan dampak Covid-19 terhadap anak-anak dari keluarga miskin yang dilakukan Unicef. Badan PBB tersebut menemukan sekitar 938 anak usia 7-18 tahun mengalami putus sekolah akibat pandemi.

Dari 938 anak, 74% dilaporkan putus sekolah karena alasan ekonomi yang menyebabkan kesulitan mengakses sekolah online.

“Anak-anak yang hanya mengikuti proses pembelajaran dari rumah berisiko lebih besar untuk putus sekolah,” kata Hiroyuki Hattori, Chief of Education Unicef, dalam peluncuran Strategi Nasional Penanganan Anak tidak Sekolah (ATS), pada 23 Desember 2020.

“Itu diakibatkan kurangnya fasilitas untuk belajar daring dan terbatasnya monitoring oleh sekolah dan pemerintah desa.”

Potensi putus sekolah dua kali lebih besar terjadi pada anak penyandang disabilitas. Sementara anak perempuan 10 kali lebih besar kemungkinan untuk putus sekolah karena pernikahan dini. Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung menyebutkan terdapat peningkatan dispensasi kawin tiga kali lipat dari 23.126 pada 2019 menjadi 64.211 pada 2020.

“Ketika anak tidak lagi datang sekolah, terdapat peningkatan risiko untuk pernikahan dini, eksploitasi anak terutama perempuan, dan kehamilan remaja,” tulis Kemdikbud dalam rilisnya Selasa, 30 Maret 2021.

 

Kedua, risiko kekerasan terhadap anak dan risiko eksternal lainnya. Survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 8-14 Juni 2020 menyebutkan, banyak anak yang mendapatkan kekerasan fisik saat sekolah daring di rumah. Survei tersebut dilakukan terhadap 25.164 anak di 34 provinsi. Mereka mengaku kerap dicubit, dipukul, hingga diinjak saat belajar daring.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira