Indonesia berencana memberikan vaksinasi Covid-19 kepada anak-anak berusia 12-17 tahun. Keputusan ini dibuat setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan izin penggunaan darurat (EUA) vaksin Sinovac pada 27 Juni 2021.
BPOM menilai berdasarkan hasil uji klinis fase I dan II, anak usia 12-17 tahun tidak mengalami demam setelah vaksinasi dengan vaksin tersebut. Data imunogenisitas dan keamanan pun meyakinkan.
Hal ini diperkuat pula dengan hasil uji klinis pada orang dewasa, lantaran kedua kelompok ini memiliki maturasi sistem imun serupa. Dari hasil uji klinis tersebut, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan dua dosis vaksin dengan jarak satu bulan.
Akan tetapi, BPOM belum mengizinkan vaksinasi Covid-19 terhadap anak-anak berusia 3-12 tahun. Sebab, jumlah subyek dalam uji klinis masih belum mencukupi untuk memastikan tingkat keamanan vaksin.
BPOM menyarankan agar dilakukan pengujian lagi dengan jumlah subyek yang lebih besar. Di samping juga dilakukan secara bertahap, mulai dari kelompok usia 6-11 tahun dan dilanjutkan dengan 3-5 tahun.
Vaksinasi Covid-19 terhadap anak-anak juga telah dilakukan di sejumlah negara. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, misalnya, menyetujui penggunaan vaksin Pfizer/BioNTech untuk anak berusia di atas 12 tahun pada pertengahan Mei 2021. Sebanyak 5,7 juta anak telah divaksinasi penuh hingga 29 Juni 2021, atau setara dengan 4% dari total penerima vaksin penuh.
Tak hanya Amerika Serikat, vaksin Pfizer/BioNTech mendapatkan izin penggunaan darurat dan digunakan untuk anak-anak di Kanada, Uni Eropa, Inggris, Singapura, Jepang, Israel, dan Uni Emirat Arab.
Melansir The Straits Times, vaksin Sinopharm juga tengah melakukan uji klinis terhadap 900 anak berusia 3-17 tahun di Uni Emirat Arab. Kemudian, dua perusahaan asal India, Bharat Biotech dan Zydus Cadila, melakukan pengujian serupa di negara tersebut. Bharat Biotech terhadap 525 anak berusia 2-18 tahun, sementara Zydus Cadila terhadap anak berusia 12-18 tahun.
Pemberian vaksin Covid-19 pada anak dinilai penting lantaran mereka semakin rentan terinfeksi virus corona. Mereka bahkan berpotensi menjadi sumber penularan, terutama dengan munculnya berbagai varian baru. IDAI berpendapat, vaksinasi bisa memutus penularan timbal balik antara anak dan orang dewasa di sekitarnya.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan mencatat ada sebanyak 250,6 ribu kasus positif yang terjadi pada anak hingga 20 Juni 2021. Sebanyak 20,6 ribu di antaranya pun masih menjalani perawatan di rumah sakit atau isolasi mandiri. Jika dihitung proporsinya, angka kasus aktif untuk anak bahkan lebih tinggi dari lansia, yakni 13,5% berbanding 11,2%.
Selain rentan terinfeksi, anak berpotensi mengalami dampak jangka panjang (long covid) hingga lebih dari 120 hari sejak diagnosis awal. Hasil penelitian Gemelli University Hospital di Roma, Italia terhadap 129 anak penyintas Covid-19 menunjukkan sebanyak 18,6% responden menderita insomnia, 14,7% gejala pernafasan, dan 12,4% hidung tersumbat. Gejala lain yang dialami adalah kelelahan, sulit berkonsentrasi, serta sakit pada otot dan sendi.
Anthony Skelton dari Western University dan Lisa Forsberg dari University of Oxford dalam tulisan mereka di The Conversation (2021) juga mengatakan semakin lama anak tidak divaksinasi, maka semakin tinggi potensi munculnya varian baru Covid-19 yang lebih mengancam. Misalnya, varian Delta yang merupakan mutasi dari varian Inggris dan memiliki tingkat penularan 97% lebih tinggi dari virus corona awal.
Ketua Satuan Tugas Covid-19 IDAI dr. Yogi Prawira mengatakan anak memang selalu menjadi kelompok terakhir yang menerima vaksin. Sebab, efek samping vaksin dikhawatirkan bisa memengaruhi tumbuh kembang anak.
Vaksin pun diprioritaskan bagi kelompok rentan dan berisiko tinggi, seperti lansia dan tenaga kesehatan, terlebih dahulu untuk mengurangi gejala berat hingga kematian.
Meski begitu, vaksin Covid-19 buatan Sinovac telah melalui uji klinis, dipastikan aman untuk anak, dan siap digunakan di Indonesia. Langkah ini penting bagi anak untuk mencegah penularan virus dan dampaknya, juga mempersiapkan anak jika nanti kembali melakukan kegiatan tatap muka.
Editor: Aria W. Yudhistira