Advertisement
Advertisement
Analisis | Mencari Sistem Kerja yang Sehat saat Pandemi Melandai - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mencari Sistem Kerja yang Sehat saat Pandemi Melandai

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Karyawan berharap perusahaan menerapkan sistem bekerja yang fleksibel, yakni kombinasi bekerja jarak jauh dan bekerja di kantor pasca-pandemi Covid-19. Sistem bekerja dari rumah (WFH) sejak pandemi setahun lalu menimbulkan kejenuhan digital yang berdampak besar bagi karyawan.
Cindy Mutia Annur
13 Oktober 2021, 08.25
Button AI Summarize

Pandemi Covid-19 telah menimbulkan banyak disrupsi. Tahun lalu ketika pandemi mulai merebak, banyak perusahaan yang melakukan pergeseran sistem kerja, yakni memberlakukan kerja jarak jauh (remote work). Di Indonesia, kita mengenal istilah bekerja dari rumah atau work from home (WFH).

Ada yang positif dan negatif dari bekerja dari rumah. Sebagian dapat menikmati karena bisa dilakukan sembari mengurus pekerjaan rumah tangga dan anak-anak, sehingga bisa lebih dekat dengan keluarga. Di sisi lain, WFH justru menambah beban kerja karyawan. Selain interaksi sosial hilang, karyawan juga mengalami kejenuhan digital.

Hal ini diakui Ilman Sudarwan (27) yang telah menjalani WFH sejak pertengahan tahun lalu. Bekerja jarak jauh memang dapat menekan pengeluaran, seperti ongkos transportasi atau makan. Tapi ada banyak kendala juga. Misalnya gangguan koneksi internet hingga merasa lebih mudah lelah akibat jam kerja tidak teratur.

“Saya lebih nyaman bekerja di kantor, karena jam kerja lebih teratur,” kata Ilman yang bekerja sebagai humas di salah satu agensi kepada Katadata.co.id, Jumat 1 Oktober 2021.

Di kala pandemi, pengurangan intensitas pertemuan antarkaryawan memang harus dilakukan untuk menghindari potensi penularan virus. Namun berbagai permasalahan juga bermunculan jika terus-menerus bekerja dari rumah juga mesti diwaspadai.

Salah satu solusi adalah sistem kerja kombinasi atau hybrid working antara di kantor dan di rumah. Hal ini sesuai hasil survei yang dirilis Microsoft pada 22 Maret 2021 lalu. Survei tersebut dilakukan terhadap 30 ribu orang di 31 negara, termasuk Indonesia yang dibungkus sebagai 2021 Work Trend Index: Annual Report berjudul “The Next Great Disruption Is Hybrid Work – Are We Ready?”.

Dampak WFH terhadap Kesehatan Mental  dan Fisik Pekerja

Dalam survei tersebut diketahui sebanyak 54% karyawan merasa terlalu banyak bekerja sejak pandemi. Hal ini terlihat dari intensitas digital pekerja yang meningkat drastis. Selama periode Februari 2020-2021, layanan konferensi video microsoft  365 melonjak sebesar 148%. Begitu pula pada layanan dokumen dan obrolan yang naik hingga 66% dan 45% selama periode yang sama.

Akibat dari tingginya intensitas digital tersebut, sebanyak 39% responden mengatakan mereka mengalami kelelahan digital (digital exhaustion). Di antaranya yakni karena terlalu banyak rapat online, pesan chat setelah jam kerja, jumlah email yang masuk, serta jumlah dokumen yang harus dikerjakan meningkat.

Kelelahan digital tersebut dikhawatirkan merembet ke kelelahan fisik. Studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang dimuat dalam jurnal Environmental International (2021) menunjukkan, bahwa jam kerja yang panjang menyebabkan lebih dari 745 ribu kematian akibat stroke (53%) dan penyakit jantung iskemik (47%) pada 2016. Studi itu mengatakan bahwa para pekerja diketahui memiliki waktu bekerja setidaknya 55 jam dalam sepekan.

Direktur Departemen Lingkungan Perubahan Iklim dan Kesehatan WHO Dr. Maria Neira mengatakan, bekerja 55 jam atau lebih per minggu dapat menyebabkan bahaya kesehatan yang serius. “Sudah saatnya kita semua, pemerintah, pengusaha, dan karyawan menyadari fakta bahwa jam kerja yang panjang dapat menyebabkan kematian dini,” ujar Maria dikutip dari laman resmi WHO pada Senin, 17 Mei 2021 lalu.

Gangguan muskuloskeletal (gangguan saraf, otot, tulang, dan sendi) juga merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh pekerja di masa pandemi. Studi yang dilakukan Condrowati dkk, dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta yang dimuat dalam Advances in Health Sciences Research (2020) terhadap pekerja di Indonesia, menemukan banyak keluhan nyeri otot selama WFH.

Sebanyak 66,3% pekerja mengeluhkan gangguan ini selama WFH, di antaranya mengalami nyeri leher (54%), pundak (36,5%), punggung bawah (34,9%), dan punggung atas (31,7%).

Sementara itu, studi di Tiongkok yang dipublikasikan Pusat Nasional untuk Informasi Bioteknologi (NCBI) pada 2020 menunjukkan bahwa gangguan psikologis juga ditemukan pada pekerja di masa pandemi. Di antaranya mereka mengalami depresi  (24,5%), insomnia (20%), kekhawatiran berlebih (18,5%), dan stres akut (15,8%).

Keinginan Kerja yang Lebih Fleksibel

Survei Microsoft tersebut juga menemukan, sebanyak 73% karyawan menginginkan adanya opsi bekerja jarak jauh yang fleksibel. Menurut laporan tersebut, pekerja ingin bisa mengontrol di mana, kapan, dan bagaimana mereka bekerja, serta mengharapkan perusahaan dapat menyediakan berbagai opsi bekerja. Bahkan, sebanyak 67% karyawan menginginkan lebih banyak waktu bertatap muka dengan tim mereka.

Adapun sebanyak 66% pemimpin bisnis tengah mempertimbangkan untuk mendekorasi ulang ruang kantornya. Hal ini dilakukan supaya mereka dapat mengakomodasi lingkungan hybrid working yang lebih nyaman bagi para karyawannya.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira