Kebijakan hilirisasi dan pelarangan ekspor nikel mentah (bijih nikel) berhasil mendongkrak nilai perdagangan Indonesia. Harga nikel yang telah diolah di smelter dapat memiliki nilai tambah hingga lebih 300 kali dibandingkan bijih nikel.
Berdasarkan data Trade Map, Indonesia terakhir kali mengekspor bijih nikel pada 2019. Ketika itu, Indonesia mengekspor sebesar 32,4 juta ton senilai US$1,1 miliar. Artinya, setiap ton dihargai senilai US$33,9.
Namun salah satu hasil olahan nikel, yakni nikel matte, yang juga diekspor memiliki nilai jauh lebih tinggi. Pada 2021, Indonesia mengekspor 82,7 ribu ton nikel matte senilai US$953,2 juta. Jika dilihat volumenya, memang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan bijih nikel. Akan tetapi, nilainya lebih mahal yakni mencapai US$11.521 per ton.
Dengan begitu, larangan ekspor bijih nikel memengaruhi kinerja ekspor nikel Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan total nilai ekspor naik 58,9% menjadi US$1,28 miliar pada 2021. Angkanya bahkan melonjak 365,4% hingga mencapai US$5,98 miliar pada 2022.
Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, rata-rata pertumbuhan total nilai ekspor nikel (Compound Annual Growth Rate/CAGR) hanya 18,8% per tahun.
Bahkan nikel matte bukan produk turunan nikel yang memiliki harga tertinggi. Menurut Dewan Penasihat Asosiasi Profesi Metalurgi Indonesia (Prometindo) Arif S. Tiammar, nikel matte umumnya dihargai sekitar 80% dari harga nikel yang ditetapkan London Metal Exchange (LME), seperti dikutip dari Investor.id. Adapun, harga nikel LME berkisar antara US$26-27 ribu per ton pada Januari 2023.
Arif mengatakan, nikel matte masih bisa diolah lagi dan menghasilkan senyawa nikel sulfat, yang menjadi bahan baku katode baterai listrik. Harga jual nikel sulfat umumnya mencapai 120% dari harga LME.
“Harga beberapa jenis produk olahan nikel akan makin tinggi jika nikel sudah dalam bentuk senyawa tertentu dengan proporsi yang sangat tepat,” jelas Arif.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian pada 2020, produk dari smelter yang telah beroperasi maupun dalam tahap pembangunan di Indonesia mayoritas berupa nickel pig iron (NPI). Produk nikel ini merupakan bahan baku baja tahan karat, tetapi tidak bisa digunakan untuk baterai listrik.
Sementara, produksi nikel matte saat ini masih didominasi PT Vale Indonesia Tbk. Kemudian, baru ada dua smelter yang menghasilkan mixed hydroxide precipitate (MHP)—setara nikel matte, tetapi melalui proses pengolahan berbeda—yang bisa diolah menjadi nikel sulfat. Namun, karena belum ada smelter yang mampu memproduksi nikel sulfat, nikel matte, dan MHP diekspor ke negara lain.
Ekonom Faisal Basri, dalam blog pribadinya, pun mengatakan smelter di Indonesia baru menghasilkan produk nikel yang mencapai 25% dari produk akhir. Produk itu diekspor ke negara-negara lain, diolah di sana, kemudian diekspor kembali ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan migas dan otomotif.
“Nilai tambah yang kita nikmati tak sampai 10% dari keseluruhan nilai tambah yang tercipta dari model hilirisasi sekarang ini,” tulis Faisal.
Jika melihat data Trade Map, Indonesia pun tercatat belum mengekspor nikel sulfat sejak larangan ekspor bijih nikel diberlakukan hingga 2021. Adapun, data sepanjang 2022 belum tersedia.
Di sisi lain, Tiongkok menjadi importir terbesar nikel matte Indonesia sejak awal tahun ini. Padahal, tidak ada catatan ekspor produk ini dari Indonesia ke Tiongkok pada 2021. Nilai ekspornya sebesar US$2,1 miliar pada Januari-November 2022, atau sekitar 64,5% dari total nilai ekspor nikel matte Indonesia pada periode tersebut.
Di sisi lain, Tiongkok sudah mengekspor nikel sulfat ke sejumlah negara lain, seperti Korea Selatan, Singapura, dan Vietnam. Total nilai ekspor nikel sulfat Tiongkok mencapai US$11,5 juta pada semester I-2022.
Selain hilirisasi nikel yang belum maksimal, Indonesia dinyatakan kalah dalam gugatan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas larangan ekspor bijih nikel pada akhir November 2022. Pemerintah pun mengajukan banding ke WTO pada awal Desember 2022 demi memuluskan jalannya menjadi pemain utama industri baterai listrik global.
Editor: Aria W. Yudhistira