Advertisement
Analisis | Para "Pendatang" ASN yang Bisa Memicu Kesenjangan Sosial di IKN - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Para "Pendatang" ASN yang Bisa Memicu Kesenjangan Sosial di IKN

Foto:
Pemindahan aparatur sipil negara (ASN) ke ibukota negara (IKN) Nusantara mulai 2024 berpotensi menyebabkan kesenjangan sosial di sekitar wilayah tersebut. Daya saing penduduk Kalimantan Timur, yang rata-rata pendidikan SMA, lebih rendah daripada para ASN. Kondisi seperti ini pernah dialami daerah-daerah tujuan transmigrasi pada masa Orde Baru.
Andrea Lidwina
25 Februari 2023, 10.51

Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara tidak hanya berdampak terhadap perekonomian di Kalimantan Timur (Kaltim), melainkan bisa menimbulkan persoalan sosial di sana. Terutama dari sisi demografi, mengingat bakal terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari Jakarta, pusat pemerintahan saat ini.

Pemerintah berencana memindahkan 11.274 aparatur sipil negara (ASN) dari 35 kementerian dan lembaga mulai 2024. Pemindahan tersebut guna mendukung kegiatan pemerintahan di ibu kota yang baru. 

Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), jumlah ASN instansi pusat di DKI Jakarta tercatat sebanyak 209.346 orang per Juni 2022. Artinya, hanya sekitar 5,4% ASN yang akan pindah dan bekerja di Nusantara. Namun, jika mengikuti skenario awal, jumlah ASN yang pindah bisa bertambah secara bertahap hingga seluruhnya meninggalkan Jakarta.

Sebelum adanya wacana pemindahan ASN, migrasi penduduk antarprovinsi sebetulnya terus terjadi di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sebanyak 10 dari 100 penduduk tinggal di luar provinsi kelahirannya pada 2020. Angka itu bahkan naik dua kali lipat dari 50 tahun sebelumnya.

Kalimantan Timur merupakan salah satu tujuan favorit migrasi tersebut. Sebanyak 31% penduduk di sana berstatus migran pada 2020, menjadi keempat tertinggi secara nasional. Artinya, masyarakat lokal di provinsi ini sudah menerima pendatang dari tahun ke tahun.

Meski begitu, pemindahan ASN secara masif  ke Nusantara berpotensi menimbulkan ketimpangan atau kesenjangan dengan masyarakat lokal. Misalnya, dari segi pendapatan. Setiap pegawai pemerintah di Jakarta rata-rata menerima gaji Rp6,1 juta per bulan pada Agustus 2022. Jumlah tersebut lebih tinggi dari gaji yang diterima ASN di Kalimantan Timur, yang sebesar Rp4,1 juta per bulan.

Tidak hanya itu, sebanyak 40% tenaga kerja di provinsi ini bekerja di sektor perdagangan dan pertanian. Penghasilan yang diterima pekerja pada sektor-sektor itu pun jauh lebih kecil lagi ketimbang gaji ASN di Jakarta. Nilainya sebesar Rp3 juta per bulan untuk perdagangan dan Rp3,7 juta per bulan untuk pertanian.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan adanya kesenjangan pendapatan ini kemudian bisa berdampak pada meningkatnya angka kriminalitas, seperti dikutip dari Liputan6.com.

Pemerintah akan menyeleksi ASN yang akan dipindahkan ke ibu kota baru. Salah satunya telah menempuh pendidikan minimal D3. Kriteria ini tergolong lazim diterapkan, lantaran sebanyak 81,1% dari total ASN di Indonesia telah memenuhinya atau berpendidikan di atas D3 per Juni 2022.

Namun, berdasarkan data BPS Kalimantan Timur, lebih dari 80% penduduk bekerja di provinsi tersebut hanya menempuh pendidikan SD hingga SMA atau SMK pada Agustus 2022. Perbedaan pada tingkat pendidikan yang ditempuh ini turut menimbulkan kesenjangan, yang bisa merugikan masyarakat setempat.

Pengalaman Program Transmigrasi Orde Baru

Indonesia pernah melakukan pemindahan penduduk secara “paksa” pada masa Orde Baru melalui program transmigrasi. Penduduk yang dipindahkan bukan ASN, tetapi program ini sama-sama terstruktur dari pemerintah. 

Swasono (1986) dalam “Kependudukan, Kolonisasi, dan Transmigrasi” di buku Transmigrasi di Indonesia 1905-1986 mencatat, kurang lebih ada satu juta keluarga yang bermigrasi pada waktu itu.

Transmigrasi tidak hanya menyasar Sumatra, tetapi juga meluas ke Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Program ini dilakukan untuk memecah kepadatan penduduk di Pulau Jawa, membangun desa tujuan transmigrasi, dan meningkatkan produksi pertanian demi mencapai swasembada pangan.

Pemindahan penduduk secara masif dan terstruktur ini kemudian berdampak pada masyarakat lokal. Penelitian Pratiwi dkk. (2022) terhadap beberapa kelompok petani di Lampung dalam “Transmigration programs and migrant positions in rural community knowledge networks” di Journal of Rural Studies menunjukkan komposisi kelompok mayoritas dan minoritas berubah di masyarakat tersebut.

Para pendatang justru jadi pusat informasi dan pengetahuan dalam bercocok tanam. Sebab, mereka umumnya memiliki tingkat pendidikan lebih baik serta aset dan kekayaan lebih banyak, yang mampu mengangkat status sosialnya.

Selain itu, pemerintah pusat memperkenalkan cara hidup dan bercocok tanam yang mereka pahami. Para pendatang yang punya kedekatan kultural dengan pemerintah pusat pun bisa menerima cara ini dengan lebih baik dan cepat. Akibatnya, masyarakat lokal yang semakin terpinggirkan.

Berkaca dari program transmigrasi pada Orde Baru, ASN sebagai pendatang yang memiliki pendidikan dan gaji lebih baik bisa terangkat status sosialnya di masyarakat. Terlebih, mereka terkait erat dengan pemerintah pusat. Mereka berpotensi memengaruhi cara dan standar hidup penduduk lokal sesuai dengan yang mereka pahami, bukan berdasarkan konteks dan kultur provinsi itu.

Selain itu, pemerintah berencana menempatkan ASN secara terpusat di 31 menara rumah susun yang terletak di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP). Kawasan ini juga akan dilengkapi sejumlah fasilitas, seperti rumah sakit dan sekolah.

Akibatnya, masyarakat setempat bisa semakin terpinggirkan di komunitas atau wilayahnya sendiri. Mereka tidak lagi menjadi sumber pengetahuan dan patokan cara hidup, bahkan bisa kehilangan “kontrol atas otoritas, sumber daya, dan tanah,” kata dosen dan peneliti di University of Western Australia Kirsten Martinus, seperti dikutip dari National Geographic.

Editor: Aria W. Yudhistira