Advertisement
Advertisement
Analisis | Ironi ‘Fatherless Country’ dalam Citra Keluarga Ideal Indonesia - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Ironi ‘Fatherless Country’ dalam Citra Keluarga Ideal Indonesia

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Peran ayah dianggap minim dalam pengasuhan anak di Indonesia. Salah satu penyebab Indonesia menjadi negara tanpa ayah atau fatherless country ini adalah budaya patriarki yang kuat. Ayah kepala keluarga dan pencari nafkah utama, sedangkan ibu menjadi pengurus rumah tangga hingga mengasuh anak-anak. Padahal kehadiran sosok ayah sangat penting bagi tumbuh kembang fisik maupun emosional anak.
Andrea Lidwina
15 Mei 2023, 11.59
Button AI Summarize

Indonesia diklaim menyandang predikat “negara tanpa ayah” atau fatherless country. Selayang pandang, predikat ini bertentangan dengan narasi keluarga ideal yang gencar dikampanyekan pada era Orde Baru dan masih dipercaya sebagian besar masyarakat hingga hari ini.

Keluarga ideal terdiri dari ayah sebagai kepala keluarga, ibu yang mengurus rumah tangga, dan dua anak—sesuai program Keluarga Berencana (KB). Namun, predikat fatherless tidak sepenuhnya bertentangan. 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendefinisikan fatherless sebagai ketiadaan peran ayah. Artinya, ayah sebetulnya ada atau hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat dalam perkembangan anak.

Laporan “State of the World’s Fathers” yang dirilis Rutgers Indonesia pada 2015 menyebutkan budaya patriarki sebagai salah satu alasan absennya ayah dalam perkembangan anak di Indonesia. Para ayah diharapkan bekerja ke luar rumah untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Sementara, para ibu bertugas mengurus pekerjaan rumah tangga, termasuk anak-anak. Jika ibu harus bekerja—guna menambah pendapatan rumah tangga—ibu diharapkan tetap harus menunaikan tugas utamanya. Peran-peran tersebut juga tertuang dalam UU Perkawinan.

“Tidak mengherankan jika mayoritas ayah Indonesia menginternalisasi norma bahwa peran mereka dalam keluarga terbatas pada penyedia kebutuhan dan keuangan keluarga,” tulis Rutgers Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah laki-laki bekerja memang lebih banyak ketimbang perempuan bekerja di Indonesia. Angkanya sebesar 82,6 juta jiwa berbanding 52,7 juta jiwa pada 2022.

Jurang perbedaan itu makin dalam pada penduduk yang mengurus rumah tangga. Jumlah perempuan yang mengurus rumah tangga ada sebanyak 37,6 juta jiwa, sedangkan laki-laki hanya 3,6 juta jiwa pada tahun yang sama.

Sayangnya, data ini tidak menunjukkan pula kelompok usia laki-laki dan perempuan yang bekerja atau mengurus rumah tangga. Sebagai gambaran, Katadata.co.id merujuk BPS DKI Jakarta yang punya data tersebut untuk penduduk bekerja di wilayahnya. 

Perempuan berusia 15-19 tahun yang bekerja di Jakarta tercatat sebanyak 43,3 ribu jiwa pada 2022. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan laki-laki pada kelompok usia sama yang sebanyak 40,9 ribu jiwa.

Namun, jumlah perempuan bekerja di atas usia 19 tahun—memasuki usia perkawinan dan memiliki anak—tercatat lebih rendah dari laki-laki. Sejalan dengan itu, jumlah laki-laki bekerja di Jakarta pun bertambah signifikan pada kelompok-kelompok usia berikutnya.

Sejumlah anak berusia 0-17 tahun di Indonesia juga hanya tinggal bersama ibu kandungnya. Menurut Kementerian PPPA, kondisi ini disebabkan ayah bekerja di luar kota, orang tua bercerai (cerai hidup), atau ayah meninggal dunia (cerai mati).

Data BPS, yang diolah Kementerian PPPA, menunjukkan ada sebanyak 8,3% anak yang tinggal bersama ibu kandungnya pada 2018. Angka itu meningkat sekitar 2-3% dari sembilan tahun sebelumnya.

Sementara, ada pula keluarga yang mengalami kondisi sebaliknya, sehingga anak tinggal bersama ayah kandungnya. Persentasenya tercatat sebesar 2,5% pada 2018, atau tiga kali lebih rendah dari anak yang tinggal bersama ibu kandungnya.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira