Eropa hingga AS Perlonggar Lockdown, Harga Minyak Terkerek Hampir 14%
Harga minyak menguat nyaris 14% pada perdagangan pagi, hari ini (6/5). Faktor pendorongnya yakni beberapa negara di Eropa, Asia hingga sejumlah negara bagian Amerika Serikat (AS) mulai memperlonggar kebijakan karantina wilayah (lockdown) seiring berkurangnya jumlah kasus positif virus corona.
Pelonggaran lockdown tersebut membuat harga minyak terkerek. Harganya meningkat selama lima hari berturut-turut, atau terpanjang dalam lebih dari sembilan bulan.
Berdasarkan data Bloomberg pada Pukul 06.50 WIB, harga minyak jenis Brent untuk kontrak Juli naik 13,86% menjadi US$ 30,97 per barel. Sedangkan harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Juni 2020 naik 3,46% ke level US$ 25,41 per barel.
Menurunnya jumlah kasus positif Covid-19 dan pelonggaran lockdown diharapkan meningkatkan permintaan minyak. Sebagaimana diketahui, pandemi corona membuat permintaan turun 30%.
(Baca: Pasokan Turun Paling Dalam Sejak 2003, Harga Minyak Naik 3% Lebih)
Karena itu, negara-negara pengekspor minyak dan Rusia (OPEC+) memangkas produksi 9,7 juta barel per hari mulai pekan ini. Pemangkasan produksi dan pelonggaran lockdown ini lah yang membantu harga minyak bangkit.
“Beberapa negara membuka kembali (wilayah) dan permintaan akan menjadi lebih baik," kata Analis senior di Price Futures Group Phil Flynn dikutip dari Reuters, Rabu (6/5). "Tetapi pengurangan produksi baru saja dimulai."
Bank Swiss UBS mengatakan, pelonggaran pembatasan akan membantu menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Karena itu, mereka memperkirakan pasokan minyak di dunia akan berkurang pada kuartal keempat.
Morgan Stanley pun menyatakan puncak kelebihan pasokan di pasar global kemungkinan telah dilewati. "Persediaan melonjak, tetapi tidak sekuat yang ditakuti,” demikian dikutip dari catatan perusahaan.
(Baca: Perang Dagang AS-Tiongkok Kembali Memanas, Harga Minyak Anjlok Lagi)
Seiring dengan penurunan produksi, ekspor minyak mentah dari Arab Saudi diperkirakan turun menjadi sekitar 6 juta barel per hari (bph) pada bulan ini. Sumber Reuters dari kalangan industri dan analis mengungkapkan, besaran ekspor ini merupakan yang terendah dalam hampir satu dekade.
Namun, Kepala Eksekutif Vitol Russell Hardy mengatakan kepada Reuters, permintaan dalam jangka panjang mungkin terkikis secara permanen. Permintaan minyak global merosot 26 juta menjadi 27 juta barel per hari (bph) pada April, dan penurunan tahun ke tahun diprediksi lebih dari 8 juta bph.
Selain itu, lalu lintas udara diperkirakan tidak akan pulih segera. (Baca: Berbagai Negara Mulai Longgarkan Lockdown dan Pembatasan Sosial)
"Permintaan memang jauh di bawah yang seharusnya sepanjang tahun ini. Namun demikian, untuk saat ini, yang terburuk di sisi permintaan mungkin telah berlalu,” kata mitra senior di Commodity Research Group Andrew Lebow dikutip dari Bloomberg, Rabu (6/5).