Peran Penting Ilmu Sosial dalam Penyelesaian Masalah Pandemi
Sudah hampir tiga bulan pandemi COVID-19 melanda Indonesia sejak kasus positif pertama ditemukan pada 2 Maret 2020. Hingga kini jumlah kasusnya terus bertambah. Per 16 Mei lebih dari 17 ribu orang dinyatakan positif COVID-19.
Wabah ini telah menyebar di 34 provinsi dan memukul berbagai sendi kehidupan masyarakat. Memunculkan masalah kesehatan, sosial, hingga ekonomi. Kebiasaan masyarakat perlahan berubah. Interaksi fisik berkurang seiring pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Pemerintah pun melakukan berbagai upaya untuk mengatasi COVID-19. Kampanye pencegahan penyebaran virus gencar dikomunikasikan. Bantuan sosial digulirkan. Di sisi lain, masyarakat mencoba beradaptasi dengan situasi yang berkembang. Proses sosial mendorong terciptanya inovasi sosial untuk mencari jalan keluar agar tetap produktif dan aman dari wabah.
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Manneke Budiman, masyarakat memiliki kreativitasnya sendiri untuk mencari jalan keluar atau berdamai dengan keadaan di masa krisis.
Ia mencontohkan pasar tradisional di Salatiga, Jawa Tengah, yang meniru Vietnam. Pasar tetap buka tanpa berdesak-desakan dengan membuat aturan jarak antara lapak pedagang. Pencarian model kreatif tersebut mengadopsi kearifan lokal di masyarakat.
“Bagi saya ini satu hal. Orang tetap bisa bersama tapi tidak terancam hidupnya untuk mempertahankan kebersamaan itu,” katanya.
Manneke menambahkan, inisiatif lokal juga dapat menjadi bentuk pemberdayaan masyarakat. Contohnya program Kampung Siaga COVID-19 yang diinisiasi Jaringan Kampung (Japung). Kampung Siaga COVID-19 ini membentuk satuan tugas untuk melakukan edukasi hingga menyiapkan lumbung pangan di setiap rumah.
Adapun Japung merupakan forum komunikasi antar desa untuk memecahkan beberapa masalah yang terjadi di dalam atau antar desa. Virus corona dianggap sebagai pagebluk yang harus diperangi sehingga menjadi tugas bersama untuk mencari jalan keluarnya.
Menurut Co-Founder dan Penasihat Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Irsan A. Pawennei, inovasi sosial juga tak luput dari pengembangan kapasitas para pembuat kebijakan. Contohnya proses pembelajaran dari komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mencari solusi terbaik penanganan COVID-19.
“Kebijakan ini kan multi-pihak. Semuanya harus saling berkoordinasi satu sama lain dengan adanya satu tujuan. Kita juga bisa melihat kebijakannya efektif atau tidak dari hasilnya,” ujarnya.
Para pembuat kebijakan perlu mengambil keputusan yang tepat dan cepat di masa krisis berdasarkan data dan kajian, yang kemudian dapat didokumentasikan dengan knowledge management untuk menjadi pembelajaran di masa yang akan datang. Tak hanya relasi antar pemerintah pusat dan daerah, pembelajaran juga dapat dilihat dari perbedaan strategi mitigasi berbagai negaraberdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan budayanya masing-masing.
Antropolog UI Suraya Afiff mengungkapkan, interaksi sosial seperti dialog antara teknokrat dan masyarakat dapat mendorong lahirnya inovasi teknologi. Salah satunya ventilator (alat bantu pernapasan) mobile. Ini memperlihatkan bahwa pelibatan berbagai aktor pemangku kepentingan merupakan hal yang tidak terpisahkan.
Menurutnya, teknologi juga dapat dilihat sebagai artefak budaya. Sebuah penemuan teknologi dapat mencirikan perkembangan peradaban suatu masyarakat. Namun, relasi teknologi dan sosial ini belum dilihat secara utuh dan kerap diberlakukan sebagai entitas terpisah.
“Padahal proses sosial-ekonomi-politik dapat mempengaruhi karakteristik suatu teknologi yang muncul. Pun secara bersamaan teknologi memberikan dampak sosial-ekonomi-politik tertentu” ujarnya.
Setidaknya terdapat empat kelompok sosial yang mempengaruhi kemunculan teknologi ventilator mobile di masyarakat. Pertama, producer atau kelompok yang secara langsung terlibat dalam pembuatan dan pendanaan teknologi. Kedua, advocate atau kelompok pembuat kebijakan, pelobi, dan pengusul pembuatan teknologi. Ketiga, user atau para pengguna seperti rumah sakit. Terakhir, bystander, aktor lainnya yang secara tidak langsung mempengaruhi proses inovasi dan terlibat dalam konstruksi sosial sebuah inovasi teknologi
Ilmu Soshum dalam Riset Multi-Disiplin
Upaya mencari jalan keluar terbaik dalam penanganan wabah pada dasarnya tak luput dari kolaborasi riset multi-disiplin. Melalui pertemuan ilmu eksakta dengan ilmu sosial-humaniora. Ini dapat menggambarkan peran penting riset sosial-humaniora (soshum).
Menurut Manneke, sumber penelitian ilmu soshum dapat ditemukan pada kejadian sehari-hari. “Kita sebetulnya pergi kemana-mana untuk memetakan dan mencari model kreatif apa yang terjadi di banyak tempat untuk ditularkan ke tempat lain dengan segala permasalahan yang ada,” ujarnya.
Selain itu, ia mengungkapkan, ilmu soshum dapat menguji kebermanfaatan suatu produk bagi manusia. Ilmu soshum hanya dapat divalidasi ketika bermanfaat untuk memajukan cara hidup dan berpikir manusia menuju ke arah yang lebih baik. Ilmu soshum juga bertugas untuk menunjukkan adanya dampak yang tidak terprediksi tapi muncul dalam realita sosial.
Manneke menjelaskan, ilmu sains memang dapat menjadi solusi jangka pendek untuk menangani persoalan, seperti menghadapi covid-19 ini. Namun, ilmu soshum menawarkan solusi jangka menengah dan panjang. “Saintek berpikir bahwa mereka menciptakan produk atau desain tapi di situ mereka berhenti. Lalu kita (riset soshum) mulai bergerak karena kemudian kita lah yang menguji kebermanfaatan produk ini kepada manusia,” katanya.
Adapun Irsan mengungkapkan, ada tiga indikator untuk mengukur dampak suatu riset, termasuk soshum. Pertama, academic excellence di mana penelitian soshum dapat dijadikan dasar riset selanjutnya di bidang soshum ataupun bidang lainnya. Kedua, economic benefit yakni riset yang bermanfaat untuk kesejahteraan ekonomi (dan masyarakat). Ketiga, social impact yang memiliki manfaat sosial bagi masyarakat.
“Ketika salah satu dari tiga ini terpenuhi sudah cukup sebetulnya,” tutur Irsan.
Untuk mengukur inovasi sosial dalam riset multi-disiplin, Dandelion Uni Eropa menuliskan konsep berjudul Inclusive, Innovative and Reflective Societies-Sensitive Valorization Concept pada 2018. Di dalamnya menyebutkan tiga indikator penting.
Pertama, dampak yang dihasilkan dari sebuah riset. Dampak tersebut dapat diukur ketika suatu riset diadaptasi oleh pemangku kebijakan, kelompok masyarakat sipil, atau diakui pada penulisan akademik. Kedua, penelitian tersebut terlihat dampaknya ketika direplikasi untuk mengatasi masalah di tempat lain. Terakhir, memiliki dampak berkelanjutan di masyarakat.
Hal tersebut harus melalui siklus penelitian yang memiliki lima fase. Dimulai dari diagnosis permasalahan, penetapan agenda penelitian, implementasi program, pemanfaatan hasil, hingga evaluasi dampak dan penilaian. Di dalamnya terdapat siklus pelibatan beragam pemangku kepentingan mulai akademisi, organisasi masyarakat sipil, pengusaha, dan pembuat kebijakan.