Gelombang Masyarakat Tolak Undang-Undang Minerba

Muchamad Nafi
1 Juni 2020, 10:04
Gelombang Masyarakat Tolak Undang-Undang Minerba, RUU Minerba
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Aktivitas di tambang batu bara legal di Baru Tengah, Kalimantan Timur (19/1/2019).

Sungai itu sempat menjadi sumber penghasilan warga dengan tangkapan udang dan ikan. Mereka bisa mengantongi sedikitnya Rp 300 – 400 ribu dari hasil berburu di sungai.

Lubang-lubang bekas penambangan yang jaraknya sangat dekat dengan pemukiman warga pun menjadi isu yang tidak kunjung ada jalan keluarnya. “Seperti di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, rumah warga dilanda banjir lumpur jika hujan. Bahkan, lubang-lubang bekas tambang yang menganga ini telah memakan korban jiwa,” katanya.

Rahma Wati, orang tua yang harus menanggung kesedihan akibat anaknya menjadi salah satu dari 30 korban meninggal akibat lubang-lubang tambang tersebut menyesalkan keputusan pemerintah dan DPR yang meloloskan UU Minerba. Pasalnya, produk hukum itu akan memberikan kewenangan sebesar-besarnya kepada perusahaan tambang untuk mengembangkan bisnisnya tanpa mempedulikan aspek sosial, ekonomi, bahkan keselamatan warga sekitar.

Galeri Investigasi Batubara
Lubang tambang batu bara. Sejumlah bekas tambang yang menganga seperti ini telah memakan korban jiwa. (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Ria Anjani dari Jaringan Advokasi Tambang Provinsi Kalimantan Utara juga meminta pemerintah membatalkan UU Minerba, karena tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dan mengesampingkan kebutuhan masyarakat. Ia menolak penambahan izin penambangan baru serta mendesak agar kasus-kasus hukum di Kalimantan Utara dievaluasi.

Pemberian izin yang tumpang tindih di Kalimantan Utara pun menjadi sumber bencana. Di Kabupaten Malinau, PDAM telah menghentikan distribusi air karena sumber air di sejumlah sungai di kawasan itu tidak bisa disaring. “Masifnya penambangan di Kabupaten Bulungan, menyebabkan laju deforestasi dan pencemaran di laut tidak tertahankan. Tidak hanya penduduk darat yang dirugikan, juga penduduk pesisir,” ucap Ria.

Sebelumnya, kritik juga datang dari ekonom senior Faisal Basri. Ia menilai UU Minerba sebagai upaya untuk menyelamatkan kaum elite di tengah kondisi pandemi corona, yakni menyelamatkan sejumlah kontrak karya yang konsesinya akan berakhir.

“Para elite pesta pora. Di tengah kondisi ini yang diselamatkan duluan adalah bandar tambang batu bara,” kata Faisal dalam webinar Iluni UI, Rabu (13/5). “Kontrak diperpanjang sampai batu bara habis. Mereka tidak sabar menunggu Omnibus Law diundangkan, jadi RUU Minerba secara nekat diundangkan,” ujar Faisal.

Pembelaan Panja RUU Minerba

Wakil Ketua Panja RUU Minerba yang juga Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suprawoto, menyatakan seluruh fraksi di DPR terlibat persetujuan pasal-pasal dalam UU Minerba. Dia membantah proses pembahasan dilakukan tidak transparan tergesa-gesa.

Sugeng berargumen bahwa pembahasan dilakukan sejak DPR periode 2014-2019. Panja pertama dibentuk pada 2015 diketuai Ridwan Hisyam dari Fraksi Golkar. Draf pertama RUU Minerba diusulkan DPR pada 25 Januari 2016 kepada pemerintah. Namun, saat itu pemerintah belum memprosesnya sehingga pembahasan tak berjalan.

Presiden Jokowi, kata Sugeng, akhirnya mengirimkan Surat Presiden pada 2018 tentang pendelegasian lima kementerian dengan Kementerian ESDM sebagai penanggung jawab utama. Kelima kementerian ini kemudian mencermati draf usulan DPR.

(Baca: Ketok Palu, DPR Sahkan RUU Minerba Jadi Undang-Undang)

Pada 25 September 2019, pemerintah memberikan 938 daftar invebtaris masalah kepada DPR. Penyerahan dilakukan pada malam hari pukul 21.20 WIB. Sebab saat itu sudah memasuki masa injury time jabatan DPR dan pembahasan beleid ini mendapat penolakan dari publik yang berujung gelombang aksi reformasi dikorupsi, maka proses dihentikan.

Pembahasan lanjutan saat ini, kata Sugeng, dimungkinkan karena UU Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan pasca-revisi terbatas telah memungkinkan carry over. Hasil rapat Bamus DPR pada Januari lalu juga menyatakan syarat administratif telah terpenuhi. “Kalau ada yang bilang inkonstitusional berarti salah,” kata Sugeng kepada Katadata.co.id.

Selama pembahasan di periode lalu sampai sekarang, DPR mendengar pendapat dari elemen sipil dan ahli. Salah satunya dari Peneliti Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana pad 17 April. Begitupun DPR menggelar 39 kegiatan dengan masyarakat sipil. Namun, ia tak merinci kegiatannya dengan siapa saja. “Mohon maaf, kami tidak mengebiri sipil,” ujarnya.

Halaman:
Reporter: Antara, Muhammad Ahsan Ridhoi
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...