Menakar Peluang Kenaikan Produksi dan Ekspor Batu Bara

Image title
11 Januari 2021, 19:05
harga batu bara, kementerian esdm, arifin tasrif, ekspor batu bara, apbi, adaro, arutmin
Kristaps Eberlins/123RF
Ilustrasi. Di tengah kenaikan harga batu bara, pemerintah berencana menggenjot produksi dan kuota ekspornya.

Ellen memperkirakan komoditas batu bara memiliki potensi melanjutkan penguatan dari 2020. Faktor utamanya adalah permintaan dunia yang akan mulai pulih setelah vaksin Covid-19 ditemukan dan disuntikan.

Tiongkok sebagai importir batu bara terbesar dunia dinilai akan memegang peranan penting dalam pergerakan harga batu bara di 2021. Keberhasilan Negeri Panda dalam mengangkat ekonominya dari kejatuhan akibat Covid-19 menjadi kunci utama pergerakan batu bara.

Pemerintah Dinilai Tak Konsisten

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat pemerintah tidak memiliki visi mengenai transisi energi dan pembangunan ekonomi. Kondisinya bertambah parah dengan apabila pemerintah mengeksekusi kenaikan produksi dan kuota ekspor batu bara.  

Padahal, cadangan batu bara domestik hanya 2% dari persediaan global. Tapi ekspor dari indonesia merupakan salahs atu yang terbesar. “Ini menunjukkan cara berpikir kita yang pendek,” ujarnya. 

Di saat bersamaan pemerintah juga sedang mendorong produsen batu bara melakukan gasifikasi menjadi dimethyl ether alias DME. Proyek ini harapannya dapat mengganti sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap elpiji atau LPG yang kebanyakan produk impor. 

Tata mengatakan program gasifikasi bukanlah solusi. Kehadirannya justru memperlambat transisi energi ke baru terbarukan di Indonesia. 

Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil telah menunda transisi energi. Karena itu, bukan langkah yang tepat menggenjot produksi dan ekspor batu bara. “Pemerintah harus menarik investasi bernilai tambah tinggi dan hijau atau ramah lingkungan yang akan menjadi tren masa depan," kata dia.

Bertentangan  dengan Perpres 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan melalui Peraturan Presiden alias Perpres Nomor 22 Tahun 2017 yang telah menetapkan produksi batu bara dibatasi 400 juta ton per tahun mulai 2019. Namun, realisasinya pada tahun lalu mencapai 556 juta ton dan target 2021 adalah 550 juta ton. 

Selama dua tahun berturut-turut pemerintah telah melanggar aturan tersebut. “Pelanggarannya cukup serius dan menunjukkan pemerintah tidak konsisten dan taat hukum,” kata Fabby. 

Laporan Badan Energi Internasional atau IEA memperkirakan akan ada kenaikan permintaan komoditas tambang itu pada 2021 sebesar 2,6% dibandingkan tahun lalu. Namun, kenaikannya masih di bawah angka 2019. Permintaan batu bara meningkat seiring proyeksi pembangkit listrik berbahan bakar batu bara naik 3% sepanjang tahun ini dibanding 2020.

Untuk harga batu bara, kenaikannya saat ini terjadi karena disrupsi produksi di Tiongkok dan melonjaknya permintaan dari negara-negara yang mengalami musim dingin. Faktor suspensi impor batu bara dari Australia ke Negeri Panda juga menjadi pemicu pulihnya harga tersebut. 

Dengan semua kondisi itu, Fabby berpendapat, tren kenaikan harga batu bara bersifat sementara saja. Pemerintah tidak perlu bereaksi berlebihan dan mengikuti kemauan produsen batu bara. 

Pemerintah perlu memikirkan pengendalian produksi dengan mempertimbangkan tren jangka menengah dan panjang. Keputusan menaikkan produksi akan berdampak pada meningkatnya risiko stranded asset dan risiko finansial apabila harganya kembali jatuh. 

Fabby berharap kelebihan dari produksi batu bara tidak membebani perusahaans etrum negara. "Yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai PLN diminta untuk menyerap kelebihan produksi batu bara domestik kalau ekspor turun atau melandai," ujarnya. 

Soal hilirisasi, ia mengatakan batu bara yang cocok untuk proyek ini hanya berkalori rendah dan tidak dapat diekspor. Dari hasil kajian lembaga yang ia pimpin, keekonomian hilirsasi tersebut masih problematik dan berisiko tinggi. 

Ada potensi pemerintah mengeluarkan subsidi yang lebih besar daripada impor elpiji. Pertamina sebagai penyerap atau offtaker produk dimethyl ether akan menghadapi risiko finansial. "Terutama kalau harga elpiji di masa depan di 2024 dan seterusnya mengalami penurunan," ujarnya. 

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...