Efek Pandemi, Pemakaian Pembangkit Listrik Batu Bara di India Turun

Image title
16 Februari 2021, 15:45
Sejumlah pekerja beraktivitas di proyek pembangunan PLTU Suralaya Unit X di Suralaya, Cilegon, Banten, Senin (5/8/2019). Jubir Unit Pembangkitan PLTU Suralaya Asep Muhendar mengungkapkan setelah mengalami gangguan kerusakan interkoneksi di Ungaran, suplai
ANTARA FOTO/ASEP FATHULRAHMAN
Ilustrasi.

Pandemi Covid-19 telah menurunkan permintaan listrik India yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. Menurut laporan lembaga kajian energi asal Eropa, Ember, pemakaian PLTU di India terus merosot sejak mencapai puncaknya pada 2018. 

Tahun lalu pemakaiannya menurun 5% dibandingkan 2019 lantaran berkurangnya permintaan listrik. Angka penurunan itu setara 51 terawatt hour (TWh). Pemintaan listriknya melemah sebesar 36 terawatt hour. Namun, batu bara masih tetap menjadi sumber listrik dominan yang menghasilkan 71% listrik India pada 2020. 

Faktor beban pembangkit batu bara atau coal plant load factor di India turun ke rekor terendah pada 2020, yaitu 53%. Di sisi lain, pemakaian pembangkit tenaga surya atau PLTS naik sebesar 12 terawatt hour. 

Ember menyebut PLTU di negara itu pemakaiannya akan terus stabil. Pemintaan listriknya diperkirakan sekitar 4% hingga 5% per tahun hingga 2030. Hitungannya ini berdasarkan data dari Badan Energi Internasional (IEA) dan laporan India Energy Outlook 2021.

Gambaran kondisi tersebut menempatkan India pada jalur yang lebih ramah iklim. Namun, kondisinya tergantung pada pemakaian pembangkit tenaga angin dan matahari di 2022. “Kebutuhan pembangkitnya lebih dari dua kali lipat dari kapasitas 2020 yang sebesar 118 terawatt hour,” tulis laporan tersebut, dikutip pada Selasa (16/2). 

Analis senior Ember Aditya Lolla memperkirakan masih ada risiko India keluar dari jalur utama. Komitmen pemerintah untuk tetap melakukan transisi energi dari batu bara ke energi bersih sangat penting. “Fokusnya harus pada pembangunan kapasitas pembangkit surya dan angin baru yang cukup untuk memenuhi permintaan listrik yang meningkat,” ujar dia.

Energi Terbarukan Dominasi Uni Eropa

Energi baru terbarukan atau EBT menggeser bahan bakar fosil pada pembangkit listrik Uni Eropa pada tahun lalu. Kondisi ini merupakan yang pertama kalinya terjadi di kawasan tersebut.

Menurut laporan lembaga Ember dan Angora Energiewende, sumber energi terbarukan, seperti angin dan matahari, menghasilkan 38% listrik untuk 27 negara anggota kelompok itu. Bahan bakar fosil, seperti batu bara  dan gas, menyumbang 37%. 

Denmark memakai tenaga angin dan surya terbanyak. Pembangkit energi terbarukannya menyumbang 61% dari kebutuhan listrik pada tahun lalu. Irlandia mencapai 35% dan Jerman 33%. Negara dengan pangsa energi terbarukan terendah, di bawah 5%, adalah Slowakia dan Republik Ceko.

Pembatasan gerak akibat pandemi Covid-19 alias lockdwon telah menyebabkan permintaan listrik di Uni Eropa turun 4%. Dampaknya sangat terasa oleh produsen bahan bakar fosil. 

Pembangkit listrik tenaga batu bara anjlok 20% pada 2020 dan telah berkurang setengahnya sejak 2015. "Pembangkit  ini jatuh di hampir setiap negara, melanjutkan keruntuhan batu bara yang terjadi sebelum Covid-19," kata laporan itu pada 25 Januari lalu.

Banyak negara di Eropa yang secara bertahap menghentikan pembangkit tenaga listrik tenaga batu bara yang berpolusi tinggi untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon. Harga listriknya yang rendah di saat pandemi corona membuat beberapa pembangkitnya menjadi tidak menguntungkan dibandingkan yang memakai energi terbarukan.

Dalam laporan Energy Outlook 2020, BP memprediksi akan terjadi pergeseran konsumsi energi. Pada 2050, sumber energi utama yang dikonsumsi berasal dari energi terbarukan, menggantikan minyak yang menjadi sumber utama pada 2018. 

Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...