Faktor Cadangan Nikel jadi Alasan Kementerian ESDM Batasi Smelter

Image title
29 Juni 2021, 17:47
nikel, pembatasan smelter, kementerian esdm
ANTARA FOTO/Jojon/hp.
Foto udara, areal pabrik pengolahan ore nikel milik PT Antam Tbk di Kecamatan Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara, Sabtu (5/6/2021).

Di samping itu, teknologi smelter saat ini juga sudah berkembang, sehingga dapat mengolah bijih nikel dengan kadar yang lebih rendah. Misalnya untuk jenis pirometalurgi dapat menggunakan bijih dengan kadar Ni lebih dari 1,5% dan di bawah 1,5% bisa diolah dengan nikel kadar kurang dari 1,5%.

Sehingga cadangan terbukti untuk Ni lebih dari 1,5% diperkirakan sekitar 1,18 miliar ton (wmt) dan cadangan terkiranya 1,57 miliar ton (wmt). Hal ini otomatis akan memperpanjang usia smelter pengolahannya.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini baru ada satu pabrik HPAL yang beroperasi di Halmahera Selatan, sementara lainnya masih dalam tahap konstruksi. Jika pabrik HPAL tersebut keseluruhannya beroperasi, maka input bahan baku bijih nikel limonit yang dibutuhkan adalah sebesar 42,2 juta ton pertahun.

Artinya, umur pengolahan nikel limonit di Indonesia bisa mencapai 43 tahun. Menurut Rizal rencana pemerintah membatasi pembangunan smelter yang mengolah nikel saprolit penghasil nikel kelas dua ini, semata-mata untuk memastikan keberlanjutan pasokan bijih nikel bagi pabrik smelter yang telah beroperasi di Indonesia.

"Pemerintah juga hendak memastikan, jangan sampai terjadi kelebihan pasokan produk nikel kelas dua yang akan berdampak pada penurunan harga nikel di pasar dunia," katanya.

Di satu sisi, jumlah cadangan nikel saprolit yang tersisa yakni delapan hingga 10 tahun. Hal ini semestinya memacu pemerintah untuk menggalakkan kegiatan eksplorasi di sejumlah wilayah prospek agar dapat menemukan dan menambah cadangan baru.

Pemerintah dapat melakukan berbagai opsi. Seperti menugaskan lembaga pemerintah yang menangani kegiatan eksplorasi, meminta perusahaan pemegang izin usaha pertambangan untuk mengalokasikan dana bagi kegiatan eksplorasi lanjutan di wilayah-wilayah yang belum terjamah.

Berikutnya pembatasan pembangunan pabrik pengolahan yang menghasilkan nikel kelas dua. "Sekaligus harus dimanfaatkan memberikan peluang bagi investor untuk membangun dan mengembangkan pabrik pengolahan nikel berbahan baku limonit," ujarnya.

Selain karena cadangan dan umur tambangnya yang masih besar, produk akhir dari pengolahan bijih limonit yang menghasilkan nikel kelas satu, sangat dibutuhkan. Terutama untuk pengembangan industri hilir berskala vital dan strategis, salah satunya industri baterai mobil listrik.

"Sudah saatnya pemerintah fokus pada industri lanjutannya. Setelah beberapa tahun terakhir smelter berdiri dan baru-baru ini telah berproduksi refinery nikel, maka tugas berikutnya adalah membuat industri lanjutannya," kata dia.

Terutama industri manufaktur berbasis logam dan nikel. Banyak industri turunannya yang belum ada di Indonesia. Sehingga pengguna akhir dari produk nikel ini masih harus melakukan impor dari negara lain hanya untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya.

"Sehingga jualannya tidak lagi smelter, tapi pabrik refinery dan industri logam serta baterai. Kita juga bisa memproduksi barang jadi, bukan setengah jadi," katanya.

Untuk itu, pemerintah perlu untuk memberikan kemudahan, kepastian berusaha dan jaminan keamanan bagi pelaku usaha yang ingin mengembangkan pabrik hidrometalurgi. Selain itu juga bisa dengan insentif fiskal dan nonfiskal, agar pemanfaatan nikel limonit dapat optimal, serta nilai tambahnya bagi negara dan masyarakat lebih besar.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...