Harga yang Tinggi Jadi Momok Serapan Biodiesel Minyak Jelantah

Muhamad Fajar Riyandanu
26 Juli 2022, 11:19
minyak jelantah, biodiesel,
123rf.com
Ilustrasi minyak jelantah.

Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan pemanfaatan minyak jelantah (used cooking oil/UCO) menjadi biodiesel. Menurut data Kementerian ESDM konsumsi minyak goreng rumah tangga mencapai 13 juta ton per tahun atau setara dengan 16,2 juta kilo liter (KL) pada 2019.

Dengan potensi minyak jelantah sebesar 3 juta KL per tahun, minyak goreng bekas yang dikelola dengan baik dapat mengisi 32% dari kebutuhan biodiesel nasional. Walau begitu, ada sejumlah tantangan besar dalam upaya pemanfaatan minyak jelantah menjadi biodiesel, salah satunya harga yang jauh lebih mahal dari BBM Solar.

Tri Hermawan sebagai Manager Process Engineering Yayasan Lengis Hijau mengatakan, harga jual biodiesel yang diproduksi oleh Yayasan Lengis Hijau dijual seharga Rp 13.000 per liter. Angka ini jauh lebih mahal daripada harga Solar subsidi yang dibanderol Rp 5.150 per liter.

"Dari segi harga sangat tidak bersaing. Yang beli itu hanya yang mereka peduli sama lingkungan saja," kata Tri saat dihubungi pada Senin (25/7).

Yayasan yang bermarkas di Bali ini memperoleh suplai minyak jelantah dari hotel, rumah makan dan bank sampah yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Mereka merogoh kocek Rp 4.000 per liter untuk minyak jelantah dari hotel dan rumah makan.

Sementara dari rumah tangga, mereka membelinya dengan harga Rp 6.000 per liter. Dalam sehari, Yayasan Lengis Hijau bisa mengolah 1.000 liter minyak goreng bekas menjadi bahan bakar nabati. “Yang kami produksi ini B100, karena kami tidak bisa blending. Yang punya hak itu pemerintah,“ sambung Tri.

Minyak jelantah tersebut kemudian diolah di dalam reaktor yang dibuat dari drum bekas hasil karya mandiri. Yayasan mengeluarkan biaya Rp 50 juta untuk membuat reaktor tersebut. Adapun mesin pengolahannya merupakan hasil hibah yang didatangkan dari Eropa.

Usai minyak goreng bekas itu berhasil didaur ulang menjadi biodiesel, B100 kemudian disalurkan ke sejumlah hotel, rumah makan, dan sekolah yang telah menjadi konsumen tetap.

Di sana, bahan bakar nabati (BNN) tersebut digunakan sebagai pengganti solar untuk tranportasi bus dan genset. Tri mengaku, status biodiesel yang belum populer di mata masyarakat menjadi faktor utama dari sulitnya upaya pemasaran.

Salah satu konsumen tetap biodiesel olahan Yayasan Lengis Hijau adalah Green School Bali. Sekolah internasional yang terletak di Kabupaten Badung ini memanfaatkan biodiesel sebagai bahan bakar bus sekolah.

Tri menambahkan, B100 sebetulnya kurang cocok digunakan untuk mesin-mesin kendaraan. Bahkan, bus sekolah Green School kerap kali mengalami masalah mesin saat menggunakan BBN B100.

“Tapi sekolah itu juga dapat CSR, jadi mungkin gak begitu masalah. Kalau untuk rekomendasi ke kendaraan itu enggak ya, karena mesin kendaraan hanya mampu di B5. B100 Ini untuk mesin generator,“ ujarnya.

Harga Minyak Jelantah Tinggi

Yayasan perlu merogoh kocek Rp 13.000 per liter untuk biaya pengolahan dari minyak goreng bekas ke BBN. Beban tersebut sama dengan harga jual yang mereka tetapkan.

“Kami kan bukan murni bisnis, maka yang kami hitung itu hanya dari biaya jual saja. Tidak termasuk biaya investasi mesin. Kalau untuk segi bisnis, biodiesel agak sulit,“ tutur tri.

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Video Pilihan
Loading...

Artikel Terkait