Masalah Bulog di Masa Buwas, dari Hilangnya Rastra hingga Mafia Beras

Image title
Oleh Ekarina
9 Desember 2019, 09:45
Bulog, Buwas, tumpukan beras, mafia beras
ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Temuan beras impor medium yang berbau apek di di gudang penyimpanan Bulog Medan, Sumatera Utara, Rabu (4/12/2019). Bulog di masa Buwas menghadapi masalah tumpukan beras yang tak tersalurkan.

Berdasarkan pantauan Katadata.co.id, beras yang disalurkan melalui e-warong dalam kualitas layak untuk dikonsumsi. Pemilik e-warong resmi di kawasan Cawang, Jakarta, Hesti Susilowati, menyatakan kualitas beras dari program BPNT tidak mengecewakan. Beras dari program BNPT yang tersedia di warungnya selalu habis terjual.

"Bagus sih, tidak mengecewakan. Saya juga mengambilnya beras yang bagus. Kalau dulu raskin dikasih beras jelek,  tapi sekarang sih tidak," kata Hesti, akhir pekan lalu.

Setiap bulannya, warung Hesti menerima kiriman 300 hingga 500 paket BPNT dari Kementerian Sosial. Paket tersebut dibedakan menjadi dua jenis, yaitu paket yang berisi 5 kilogram beras ditambah 20 butir telur dan paket berisi 8 kilogram beras beserta 20 kilogram telur.

Program tersebut juga menurutnya sangat membantu golongan yang membutuhkan. Hanya saja kendalanya, pengiriman paket bahan pangan terkadang seringkali terlambat sampai lokasi.

Perdebatan Kembalinya Program Rastra

Kesulitan Bulog menyalurkan beras memunculkan kembalinya wacana Rastra. Wacana ini menuai perdebatan, karena BPNT dianggap sebagai terobosan yang perlu dipertahankan.

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyatakan ketidakmampuan Bulog memenuhi kuota sebanyak 700 ribu ton beras dalam program BPNT menunjukkan perlunya perbaikan manajemen pada BUMN tersebut. “Artinya Bulog kalah saing dengan swasta,” kata Dwi, akhir pekan lalu.

Dwi menyebut BPNT merupakan terobosan dari program bantuan Rastra/Raskin yang rawan korupsi. Seringkali ditemukan kasus beras dalam Raskin mutunya tidak layak untuk dikonsumsi. Sehingga dia berharap pemerintah tak mengembalikan kembali program Rastra.

(Baca juga:  Pengamat Menilai Pengembalian Skema BPNT Jadi Rastra Sebuah Kemunduran)

Dwi menyarankan perbaikan manajemen Bulog dalam menghadapi perubahan kebijakan. Salah satunya, dia menyarankan Bulog menjalin hubungan harmonis dengan swasta. “Pemerintah hanya menguasai 10% dari stok beras, penting buat pemerintah menjaga kepercayaan swasta yang merupakan penguasa pasar beras,” kata dia.

Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori mengatakan, tersendatnya penyaluran beras Bulog di hilir, berpotensi menyebabkan disposal stok kembali berulang.

Dengan stok beras 2,3 juta ton saat ini, ditambah Bulog tidak lagi memiliki outlet penyaluran di hilir seperti pada saat ada program Rastra, menjadikan arus perputaran beras di gudang menjadi lambat. "Apalagi beras sifatnya tidak tahan lama, maka disposal bisa kembali terulang," kata Khudori kepada Katadata.co.id, Sabtu (7/12).

Khudori menyatakan, pasar Bulog di hilir yang tidak lagi besar, dia pun menilai target pengadaan atau penyerapan beras dalam negeri Bulog tahun ini sebesar 1,8 juta ton sudah tidak lagi relevan. Data Bulog pun menunjukkan, hingga 6 Desember 2019 jumlah pengadaan beras perseroan hanya sekitar 1,17 juta ton atau setara 65,2% terhadap target pengadaan 2019.

(Baca: Target Penjualan Beras Bulog 1 Juta Ton Sulit Tercapai)

Bulog pun diperkirakan bakal mengurangi pengadaannya ke depan menjadi hanya sekitar 1 juta ton atau sekitar 2%-3% dari total produksi beras nasional. Angka ini menyusut dibandingkan serapan tahun-tahun sebelumnya yang bisa sekitar 6%-9% dari total produksi.

Namun keputusan ini menurutnya memiliki konsekuensi lain dan bisa berdampak langsung ke petani. Sebab selama ini, pengadaan Bulog sebesar 6-9% dari produksi beras nasional telah menjadi pengendali pasar dari gejolak, baik yang berasal dari gangguan panen karena perubahan iklim, cuaca dan hama penyakit maupun ulah tengkulak.

Dampak lain juga pada stabilisasi harga gabah atau beras. Selama ini Rastra bukan saja efektif sebagai penjamin warga mendapatkan akses pangan murah, tapi juga sebagai instrumen stabilisasi harga gabah atau beras. Volume penyaluran Rastra sebesar 232 ribu ton per bulan tersebut setara dengan 10% terhadap angka kebutuhan beras.

"Ketika volume penyaluran Rastra berkurang, kemampuan stabilisasi menurun," ujarnya.

Dia menilai dengan stabilisasi harga beras, inflasi pun bakal terkendali. Karena beras merupakan salah satu penyumbang terbesar inflasi. Berikut harga beras yang tergambar dalam Databoks:

Halaman:
Reporter: Tri Kurnia Yunianto
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...