Restorasi Gambut Kunci Tekan Dampak Kebakaran Hutan

Tim Riset dan Publikasi
13 Agustus 2019, 09:59
Pemanfaatan kayu kering di lahan hutan gambut.
Aswaddy Hamid
Pemanfaatan kayu kering di lahan hutan gambut.

Tim peneliti Harvard dan Columbia University juga optimistis angka kematian akibat paparan emisi kebakaran hutan sebagian besar dapat dicegah dengan strategi komprehensif untuk mengurangi kebakaran, seperti pemblokiran api di lahan gambut, konsesi industri, maupun hutan lindung. Penanganan kebakaran di lahan gambut memberikan efek positif paling besar. Menghentikan kebakaran di seluruh lahan gambut, akan mengurangi 65 persen emisi akibat kebakaran dan menekan angka kematian dini di Indonesia sebesar 65 persen, 73 persen kematian dini di Malaysia dan 70 persen kematian dini di Singapura.

Kebakaran Hutan

 “Efektivitas berbagai strategi tersebut dalam mengurangi masalah kesehatan tergantung pada lokasi kebakaran relatif terhadap distribusi populasi. Sebagai contoh, menghilangkan semua kebakaran di lahan gambut dapat mencegah lebih dari 24 ribu kematian setiap tahun,” mereka menulis dalam paparan penelitian yang diperoleh Katadata. Seandainya kebakaran di areal perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman untuk bahan baku kertas, dan areal hutan tanaman industri, bisa dihentikan, tim peneliti menghitung, akan mengurangi emisi karbon hingga 39 persen.

Seandainya kebakaran di areal perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman untuk bahan baku kertas, dan areal hutan tanaman industri, bisa dihentikan, tim peneliti menghitung, akan mengurangi emisi karbon hingga 39 persen.

 Selain itu, penanganan yang dilakukan pemerintah melalui moratorium dan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) juga menjadi perhatian dalam kajian ini. “Kami memiliki alat yang dapat digunakan untuk menentukan wilayah-wilayah restorasi gambut yang memiliki dampak paling menguntungkan pada kesehatan masyarakat,” jelas tim peneliti dalam jurnal tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan memblokir api di lokasi restorasi gambut yang menjadi kewenangan BRG akan mengurangi kematian dini orang dewasa sebesar 34 persen di Indonesia, 22 persen di Malaysia, dan 46 persen di Singapura. Alat ini juga menghitung lima lokasi prioritas teratas dari semua situs BRG yang paling menguntungkan bagi kesehatan masyarakat.

Komitmen Restorasi

Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead, kepada Tim Riset Katadata menjelaskan, pemulihan lahan gambut di Indonesia menjadi prioritas penting karena dengan 14-20 juta hektare lahan gambut, Indonesia merupakan negara dengan lahan gambut keempat terluas di dunia. Meski lahan gambut hanya tiga persen dari luas daratan di seluruh dunia, namun kemampuannya menyerap karbon sangat besar. Lahan gambut menyimpan 550 gigaton karbon atau setara 30 persen karbon yang tersimpan di tanah dunia. Di Indonesia, lahan gambut menyimpan 57 gigaton atau 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan hutan hujan tropis biasa atau tanah yang bermineral.

airy
Seorang warga mengambil kayu kering dari kawasan hutan gambut di Bukit Batrem, Dumai, Riau, Senin (19/2). Mengambil kayu kering untuk selanjutnya dijual sebagai kayu bakar selama musim kemarau merupakan kebiasaan warga yang bermukim di sekitar lokasi hutan gambut di Kota Dumai. ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid

 Cadangan karbon yang besar, membuat pengeringan atau alih fungsi lahan gambut akan melepas karbon ke udara. Analisis World Resources Institute (WRI), menunjukkan bahwa mengeringkan satu hektare lahan gambut di wilayah tropis akan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton karbon dioksida setiap tahun atau setara dengan membakar lebih dari 6 ribu galon bensin. Dalam keadaan gambut kering, gambut menjadi mudah terbakar dan api dapat menyebar hingga kedalaman empat meter. Walau api di permukaan sudah padam, api yang mengendap di lapisan tanah sangat sulit dipadamkan dan bisa bertahan berbulan-bulan bahkan menjalar ke tempat lain.

Indonesia, kata Nazir, telah menyerahkan Dokumen Komitmen Iklim Nasional kepada UNFCCC dan mengumumkan target pengurangan emisi sebesar 29 persen dan sebesar 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Untuk mencapai target tersebut, diperlukan upaya pemulihan lahan gambut atau restorasi gambut. Maka pemerintah membentuk BRG untuk mengkoordinasi restorasi ekosistem gambut di tujuh provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, dan Papua.

airy
airy

BRG mengidentifikasi areal target restorasi saat ini seluas 2.676.601 hektare, tersebar di 7 provinsi. Nazir berharap, “Ekosistem gambut yang terpulihkan dapat kembali menjadi cadangan air untuk kebutuhan pertanian masyarakat, mengurangi risiko kebakaran dan turut menyumbangkan reduksi emisi gas rumah kaca Indonesia.”

Pelaksanaan restorasi dilakukan sesuai status lahan. Di areal konsesi, misalnya, restorasi dilakukan pemegang konsesi dengan supervisi pemerintah. Untuk areal konservasi, pemangku kawasan konservasi seperti Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Taman Nasional yang melakukan restorasi bekerja sama dengan BRG. Sementara, untuk areal masyarakat dan areal tidak berizin di Areal Penggunaan Lain (APL) atau kawasan hutan dilakukan pemerintah daerah (pemda) atas arahan BRG.  Sekitar 67 persen dari areal target restorasi ada di areal konsesi kehutanan dan perkebunan ini.

Di areal konsesi, misalnya, restorasi dilakukan pemegang konsesi dengan supervisi pemerintah. Untuk areal konservasi, pemangku kawasan konservasi seperti Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Taman Nasional yang melakukan restorasi bekerja sama dengan BRG.

Di luar konsesi, restorasi gambut dikerjakan BRG bersama Pemerintah Daerah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta masyarakat. Dari total target yang dikerjakan BRG sekitar 892.248 hektare, hingga 2018 sudah dilakukan pembasahan awal seluas 679.901 hektare. Dengan demikian capaian di luar konsesi sepanjang tahun 2016-2018 sebesar 76 persen.

Nazir mengakui banyak kendala dan tantangan yang dihadapi BRG dalam memulihkan lahan gambut. Salah satunya aspek kelembagaan. Tugas BRG untuk melakukan koordinasi dan fasilitasi menyiratkan BRG bukan lembaga eksekutor. BRG sebagai lembaga nonstruktural (LNS) juga tidak mempunyai unit kerja di daerah, personel terbatas, dan belum menjadi Pengguna Anggaran sendiri. Sementara luasnya areal target restorasi butuh kelembagaan yang lebih kuat dengan dukungan personel memadai dan anggaran yang cukup. Belum lagi soal data dan peta yang kadang kurang akurat dan kurang lengkap. Hal lain yang menjadi kendala adalah perubahan pemanfaatan lahan gambut. Pada beberapa lokasi, berdasarkan verifikasi lapangan, tidak dapat dilakukan kegiatan restorasi karena patut diduga terdapat izin di atasnya.

 Kebijakan Setelah Kebakaran Tahun 2015

Hikmah dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, menurut Menteri Lingkungan Hidup  dan Kehutanan Siti Nurbaya, Presiden Jokowi dan seluruh jajaran pemerintah membuat langkah koreksi yang signifikan, hasilnya ada dan nyata. “Dalam 4 tahun terakhir, dengan segala tantangan yang sangat tidak mudah, kita mampu menghindari berulangnya kembali bencana kebakaran hutan dan lahan,” kata Siti.

Siti Nurbaya Bakar
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya di Malang, Jatim, (22/02)  (Twitter @sitinurbayalhk)
 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menilai penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah persoalan berlapis. Mulai dari lemahnya regulasi sampai pada oknum masyarakat hingga korporasi yang sengaja membakar atau lalai menjaga lahan mereka. Siti mencontohkan, ada pemilik konsesi membuka lahan memakai jasa kontraktor dengan menyuruh rakyat membakar hutan. Hal itu memang terjadi dan terus berulang karena banyak faktor. Seperti, penegakan hukum  masih lemah, tata kelola lahan kacau, ada korporasi besar tapi tak memiliki peralatan pemadaman, izin yang tidak sesuai peruntukan, dan banyak sekali masalah lain. “Instruksi Presiden Jokowi setelah itu jelas: Perbaiki, benahi, jangan ada kejadian kebakaran hutan dan lahan lagi,” kata Siti.

Penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah persoalan berlapis. Mulai dari lemahnya regulasi sampai pada oknum masyarakat hingga korporasi yang sengaja membakar atau lalai menjaga lahan mereka.

Paradigma menangani kebakaran hutan dan lahan pun berubah total. Dulu, api sudah besar belum tentu ada langkah penanganan dari pemerintah daerah. Pemerintah pusat juga menunggu status dulu, menunggu api besar baru dipadamkan sehingga menyebabkan bencana berulang. Kalau sekarang semua termasuk KLHK mengantisipasi dari hulu hingga ke hilir. “Terjadi perubahan paradigma dari penanggulangan ke pengendalian. Kebijakannya melibatkan banyak stakeholders, termasuk para pemilik izin konsesi. Semuanya berubah total di bawah pengawasan penuh pemerintah,” papar Siti.

Hal paling krusial lainnya, untuk pertama kali dilakukan penegakan hukum multidoors bagi pelaku penyebab kebakaran hutan dan lahan. Yakni dengan langkah hukum pidana, perdata dan administrasi. Langkah hukum ini tidak hanya menyasar perorangan, tapi juga korporasi. Dalam kurun waktu 2015-2018 hampir 550 kasus dibawa ke pengadilan, baik melalui penegakan hukum pidana maupun perdata. Sebanyak 500 perusahaan dikenakan sanksi administratif terkait pelanggaran yang dilakukan, bahkan ada yang dicabut izinnya. ***

Halaman:
Reporter: Tim Riset dan Publikasi
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...