Imbas Perang Dagang, LG dan Sharp Relokasi Pabrik ke Indonesia

Rizky Alika
17 Juni 2019, 12:31
Gerai elektronik Sharp. Sharp dan LG akan merelokasikan sejumlah pabriknya dari Thailand dan Vietnam ke Indonesia.
Sekretaris Kabinet
Gerai elektronik Sharp. Sharp dan LG akan merelokasikan sejumlah pabriknya dari Thailand dan Vietnam ke Indonesia.

Produsen produk elektronik Sharp Corporation dan LG Electronics akan relokasi pabriknya dari Thailand dan Vietnam ke Indonesia. Hal ini dinilai sebagai salah satu peluang Indonesia di tengah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.

Direktur Industri Elektronika dan Telematika, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Janu Suryanto menyampaikan, Sharp akan merelokasi pabrik mesin cuci dua tabung dari Thailand ke kompleks pabrik yang ada di Karawang International Industrial City (KIIC).

Rencananya, peresmian ekspansi pabrik Sharp dilakukan pada Juli 2019. “Ini juga untuk pasar ekspor. Mereka akan menyerap ratusan tenaga kerja," kata Janu dalam siaran pers, Ahad (16/6).

(Baca: Berkah Investasi Besar di Balik Perang Dagang AS - Tiongkok)

LG juga akan merelokasi pabrik pendingin ruangan dari Vietnam ke fasilitas produksi yang ada di Legok, Tangerang. “Mereka akan mulai produksi dan mulai dipasarkan (produknya) pada September 2019 sebanyak 25 ribu unit," kata dia.

Dengan begitu, LG menargetkan produksinya meningkat menjadi 50 ribu unit. "Paling tidak nanti bisa di ekspor (juga) ke ASEAN. "Investasi Sharp dan LG ini sekitar ratusan miliar rupiah,” kata Janu.

(Baca: Sharp Kaji Kemungkinan Hengkang dari Tiongkok, Pindah ke ASEAN)

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto terus memantau perkembangan perluasan pabrik LG dan Sharp tersebut. Airlangga menyampaikan, rencana relokasi pabrik ini sudah dibahas sejak lama oleh kedua perusahaan dengan Kemenperin.

Apalagi, kedua perusahaan tersebut telah memiliki basis produksi di Indonesia. "Jadi, sifatnya ekspansi. Salah satunya karena mereka sudah punya pengalaman di Indonesia, dan Indonesia dinilai sudah stabil," katanya.

Peluang Indonesia di Tengah Perang Dagang AS-Tiongkok

Ekspansi kedua produsen produk elektronik tersebut dinilai sebagai peluang bagi Indonesia di tengah perang dagang AS dan Tiongkok. Meskipun secara umum, menurut Airlangga, perang dagang ini tidak menguntungkan siapapun. “Tetapi, di sini Indonesia punya peluang. Adanya perang dagang ini, orang melihat Indonesia berada di zona aman,” kata dia.

Indonesia telah masuk zona aman investasi sejak 20 tahun lalu, yakni setelah berakhirnya Orde Baru. Sebagai negara dengan kondisi geopolitik yang cukup stabil, menurut dia, Indonesia kini semakin diincar oleh investor asing.

Beberapa waktu lalu, lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor’s (S&P) Global Ratings meningkatkan peringkat utang jangka panjang (Sovereign Credit Rating) Indonesia dari BBB- menjadi BBB dengan proyeksi stabil. Dengan demikian, Indonesia kini memperoleh status layak investasi (Investment Grade) dari ketiga lembaga pemeringkat internasional, yakni S&P, Moody's, dan Fitch.

Airlangga menyampaikan, Indonesia sedang dipandang sebagai salah satu negara yang serius dalam mengembangkan ekonomi digital. Hal ini menjadi nilai positif tersendiri bagi para pelaku usaha dunia. "Bahkan, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe melihat Asia Tenggara terutama Indonesia bisa menjadi ground untuk digital economy," katanya.

(Baca: Dampak Perang Dagang, Produsen Korea dan Tiongkok Lirik Indonesia)

Untuk itu, pemerintah fokus meningkatkan daya saing industri manufaktur agar lebih kompetitif dibanding negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. Airlangga menyampaikan, Indonesia masih menjadi daya tarik untuk investasi industri berbasis elektronik, garmen, alas kaki, serta makanan dan minuman.

Adapun industri manufaktur merupakan salah satu kontributor terbesar bagi investasi di Indonesia. Pada Kuartal I 2019, industri pengolahan non-migas berkontribusi 18,5% atau Rp 16,1 triliun terhadap realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tiga sektor yang menyokong PMDN yakni industri makanan (Rp 7,1 triliun), industri logam dasar (Rp 2,6 triliun), dan industri pengolahan tembakau (Rp 1,2 triliun).

Industri manufaktur juga menyetor 26% atau US$ 1,9 miliar terhadap realisasi Penanaman Modal Asing (PMA). Tiga sektor yang menopang yaitu industri logam dasar (US$ 593 juta), industri makanan (US$ 376 juta), serta industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia (US$ 217 juta).

(Baca: Berkah Perang Dagang, Perakit iPhone akan Pindahkan Pabrik ke Batam)

Reporter: Rizky Alika

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...