Ketidakpastian global akibat memanasnya situasi geopolitik dan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok menyebabkan banyak perusahaan manufaktur dengan basis produksi Tiongkok berbondong-bondong melakukan relokasi industri  ke wilayah lain. Asia Tenggara dilirik sebagai salah satu kawasan industri perusahaan tersebut untuk menghindari tarif impor AS.

Eskalasi perang dagang AS-Tiongkok terus memanas akibat kenaikan tarif impor yang dijatuhkan AS. Presiden AS, Donald Trump dalam beberapa kesempatan menyatakan bakal mengganjar Tiongkok dengan mengenakan tarif  impor sebesar 25% atau senilai US$ 200 miliar (setara Rp 2.800 triliun).  Total ada sekitar 5.700 produk Tiongkok dikenakan tarif impor AS.

Tak terima perlakuan tersebut, Tiongkok pun ikut membalas dengan pengenaan tarif sebesar 10% untuk produk AS senilai US$ 60 miliar. Tercatat ada 5.140 produk AS akan dikenakan tarif tambahan dan mulai diberlakukan per 1 Juni 2019.

Aksi saling balas tersebut menjadikan pelaku usaha di masing-masing negara gerah. Dikutip dari NNA Business News, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kamar Dagang Amerika (American Chamber) yang beroperasi di Tiongkok serta Shanghai sekitar 74,9% responden melihat pengenaan tarif AS dan Tiongkok bisa berdampak buruk pada bisnis mereka. AmCham Tiongkok terdiri dari sekitar 900 perusahaan AS.

Survei yang digelar antara 16 Mei -20 Mei lalu itu melibatkan hampir 250 responden. Hasilnya, 52,1% responden percaya bahwa tarif yang lebih tinggi dapat mengurangi permintaan produk mereka, sementara lainnya menyatakan perselisihan perdagangan akan membuat biaya produksi yang lebih tinggi, dan menjadikan produk yang mereka hasilkan dijual lebih mahal.

(Baca: Korban Perang Dagang, Pegatron Siap Produksi Chip iPhone di Indonesia)

Masih menurut hasil survei, akibat situasi yang semakin memanas antara AS-Tiongkok, sekitar 40% responden tengah mempertimbangkan atau telah merelokasi pabrik ke luar Tiongkok. Untuk negara atau kawasan utama yang dituju, 24,7% responden memilih Asia Tenggara dan 10,5% Meksiko. Sedangkan kurang dari 6% responden mempertimbangkan untuk pindah, atau telah  kembali ke negara asalnya, yaitu Amerika Serikat.

Sementara terkait investasi, 35,3% responden menyatakan tetap bertahan dan mengadopsi strategi "memproduksi di Tingkok, untuk pasar Tiongkok", sedangkan 33,2% memilih menunda dan membatalkan investasi di Negeri Tirai Bambu.

Mengutip data Centennial Asia Advisors, sejumlah perusahaan manufaktur asal Amerika Serikat, Jepang serta Taiwan yang memiliki basis produksi di Tiongkok, merelokasi pabriknya ke Mexico atau Asia Tenggara. Meski demikian, dari beberapa perusahaan tersebut, sedikit sekali yang mengarahkan investasinya ke Indonesia.

Contohnya, produsen motor gede (moge) Harley Davidson yang memilih Thailand sebagai basis produksinya yang baru untuk menghindari sanksi tarif AS, sekaligus mendekatkan diri ke pasar Asia. Kemudian, manufaktur elektronik Jepang, seperti Daikin yang memindahkan produksi mesin kompresor ke Thailand dan Malaysia untuk menghindari pengenaan tarif AS dan naiknya ongkos tenaga kerja Tiongkok.

(Baca: Sharp Kaji Kemungkinan Hengkang dari Tiongkok, Pindah ke ASEAN)

Relokasi Pabrik AS, Jepang, dan Taiwan dari Tiongkok
(Centennial Asia Advisors)

Masih dari sektor elektronik, perusahaan asal Taiwan, Pegatron juga dikabarnya merelokasi basis produksi perangkat router kembali ke negeri asalnya, Mexico serta India juga untuk menghindri tarif yang dikenakan AS apabila produk tersebut diekspor ke Amerika.

Meski demikian, Pegatron juga dikabarkan telah melirik Indonesia sebagai basis produksi. Pabrik tersebut memproduksi chip untuk produk smartphone buatan Apple, iPhone.

Direktur Perwilayahan Industri Direktorat Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII), Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito menyatakan, Pegatron telah menandatangani letter of intent untuk berinvestasi di Indonesia. Dana yang disiapkannya antara Rp 10 – 15 triliun (antara US$ 695 juta hingga US$ 1 miliar).

"Pabrik itu mungkin juga digunakan untuk memproduksi komponen MacBook, tetapi tidak dalam waktu dekat," kata Ignatius dikiutip dari Reuters, Selasa (28/5).

Ignatius juga menyatakan Pegatron akan menggandeng mitra lokal, yakni PT Sat Nusapersada Tbk. Kabar soal rencana kerja sama ini sebelumnya telah tersebar sejak Desember 2018.

Dalam keterbukaan informasi Sat Nusapersada yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia (BEI) disebutkan alasan utama Pegatron pindah adalah perang dagang antara Tiongkok dengan Amerika Serikat (AS). Hal itu membuat produk yang dibuat di Tiongkok dikenakan tarif tambahan jika dijual di AS.

"Ini membuat perusahaan (Pegatron) hengkang dari Tiongkok dan masuk ke Indonesia," kata Direktur Utama Sat Nusapersada Abidin Fan, dalam keterbukaan informasi, Senin (3/12/2018).

Daya Tarik Investasi Industri RI

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan di tengah tren relokasi investasi, Shinta menilai Indonesia masih kurang menarik dibandingkan negara tetangga, seperti Kamboja, Vietnam, dan Thailand.

Saat ini, banyak perusahaan menggunakan skema investasi China+1. Artinya, selain melakukan investasi di Tiongkok, perusahaan juga melakukan investasi di negara sekitarnya yang dekat dengan rantai pasok regional, tenaga kerja yang relatif murah, dan belanja pemerintah yang besar untuk menarik investasi.

Salah satu contoh, Bangladesh dianggap menarik lantaran upah buruh yang murah. Kemudian, Vietnam juga menjadi basis investasi baru karena regulasinya yang mudah, pekerja lebih terampil dan murah, serta infrastruktur memadai. Sementara, Malaysia juga memiliki teknologi infrastruktur yang sangat baik serta Thailand sudah menjadi pemain utama untuk sektor otomotif.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement