Pelemahan Ekonomi Tiongkok Mengancam Ekspor CPO dan Batu Bara RI

Michael Reily
23 Januari 2019, 06:00
Pelabuhan Bitung
Dok. KPPIP
Proyek strategis pemerintah Pelabuhan Bitung, merupakan Proyek Strategis Nasional di Provinsi Sulawesi Utara (KEK Bitung dan Pelabuhan Internasional Hub Bitung) senilai Rp 34 triliun dan juga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung dengan nilai investasi diperkirakan sekitar Rp 35 triliun.

Terakhir, perbaikan iklim usaha untuk meningkatkan eksportir di Indonesia. Pemerintah dinilai perlu memperhatikan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) agar lebih memahami aturan ekspor dan persyaratan pasar internasional. Kemudian, kebijakan supaya kemudahan ekspor seperti menghilangkan izin ekspor berbiaya tinggi serta sarana kredit ekspor dengan bunga yang terjangkau menurutnya bisa menjadi salah satu solusi. 

Ekonomi Negeri Tirai Bambu mencatat pertumbuhan terendah dalam 28 tahun. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan prospek ekonomi global. Para ekonomi pun menyebut ada sederet dampak yang perlu diwaspadai Indonesia seiring perkembangan tersebut.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, setidaknya ada empat dampak yang perlu diwaspadai. Pertama, Tiongkok berpotensi mengurangi permintaan bahan baku dari Indonesia baik komoditas energi, tambang, perkebunan maupun perikanan, seiring pelemahan pertumbuhan ekonominya.

(Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Tiongkok Melemah, Sederet Dampak Perlu Diwaspadai)

“Efeknya, kinerja (pertumbuhan) ekspor tahun ini diperkirakan hanya ada di kisaran 6-7%,” kata Bhima. Hal ini lantaran Tiongkok merupakan salah satu mitra dagang besar. Porsi ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 15% dari total ekspor pada 2018 lalu.

Selanjutnya, melemahnya permintaan Tiongkok akan membuat pemulihan harga komoditas berlangsung lebih lama, baik komoditas minyak mentah, batu bara, minyak sawit, maupun karet. Ini artinya, pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor komoditas khususnya di Kalimantan dan Sumatera tertekan. “Pertumbuhan ekonomi di daerah berbasis komoditas prospeknya turun,” kata dia.

Kemudian, dari sektor keuangan, ia memperkirakan investor akan mencari aman dengan mengalihkan dana ke surat utang dan mata uang yen Jepang. Kecenderungan ini, menurut dia, terlihat dari pergerakan nilai tukar rupiah yang melemah pada perdagangan Senin ini, setelah rilis data ekonomi Tiongkok tersebut.

Terakhir, ia memprediksi investor akan menunda masuk ke Indonesia lantaran melihat prospek pertumbuhan ekonomi global yang melambat. “FDI (Foreign Direct Investment/investasi asing langsung) pada 2019 sulit untuk diharapkan. Apalagi ada event Pilpres,” ujarnya.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam juga berpendapat perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok memiliki dua dimensi yaitu dimensi negatif dan positif. Dimensi negatifnya, sejalan dengan penjelasan Bhima, yaitu terpengaruhnya kinerja ekspor.

Menurut dia, melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengindikasikan pertumbuhan ekonomi serta permintaan global di tahun ini akan tetap rendah. “Kondisi ini menegaskan bahwa akan sulit mengharapkan pertumbuhan ekspor indonesia yang cukup tinggi pada tahun ini,” ujarnya.

Ini pun melihat adanya hubungan antara perkembangan global ini dengan fokus pemerintah mengerem impor. Tahun ini, pemerintah membidik impor hanya tumbuh 7,1%, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang diperkirakan sebesar 13,4%.

Kebijakan ini bukan hanya untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan, tapi juga menjaga pertumbuhan ekonomi. Sebab, impor ini merupakan faktor pengurang dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi. “Pemerintah saya yakin sepenuhnya menyadari hampir tidak mungkin menaikkan ekspor. Yang bisa dilakukan hanyalah mengurangi impor,” ujarnya.

Halaman:
Reporter: Michael Reily
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...