Tujuh Perusahaan di Telunjuk Susi

Metta Dharmasaputra
3 April 2017, 16:40
Penangkapan Ikan di Bitung
Katadata

Hasil Analisis dan Evaluasi (Anev) tim Satuan Tugas 115 KKP menyebutkan bahwa enam dari 26 kapal eks-asing milik PT Karunia Laut terindikasi melakukan transhipment ke Filipina. Adapun kegiatan penangkapan ikan kapal milik PT Ivanda Mardy Jaya dilakukan dengan tidak mengaktifkan alat pemantau Vessel Monitoring System (VMS) yang ada di kapal mereka.

Kapal eks-asing milik PT Virgo Internusa tak berbeda jauh kondisinya. Dari 23 kapal eks-asing miliknya, yang tercatat sebagai pemasok Sinar Pure Foods, hanya enam kapal yang membawa hasil tangkapannya ke Bitung dengan frekuensi sandar 2-4 kali setahun. Karena itu, diduga perusahaan ini pun melakukan transhipment ke Filipina.

Sementara itu, transshipment menuju Papua Nugini diduga dilakukan oleh PT Starcki Indonesia dan PT Icinrab Bahari Timur. Beberapa kapal milik Starcki bahkan pernah berlabuh di Tropicana Beach, General Santos, Filipina. Kapal-kapal tersebut diduga mengekspor ikan ke Filipina tanpa sepengetahuan Bea Cukai.

 

Penangkapan Ikan di Bitung
Hasil Analisis dan Evaluasi (Anev) tim Satuan Tugas 115 KKP menyebutkan bahwa sejumlah kapal eks-asing terindikasi melakukan transhipment ke Filipina. Donang Wahyu|KATADATA 

Hal menarik lainnya, Aksel juga memiliki hubungan lama dengan salah seorang Direktur Sinar lainnya, yaitu Andrestine Templado Tan dari San Andres Fishing Industries (SAFI). Pada 2013, dia pernah memesan dua kapal penangkap ikan dengan bobot mati 199 gross ton kepada SAFI Shipyard Gensan untuk PT Pathemaang Raya.

Pathemaang merupakan perusahaan penangkap ikan yang dinahkodai Aksel dan memiliki 13 kapal eks-asing dengan total bobot mati mencapai 1.473 gross ton. Kapal-kapal tersebut tercatat sebagai pemasok bahan baku untuk PT Carvinna Jaya, perusahaan UPI yang juga dimiliki Aksel dan ikut disorot Menteri Susi.

Dari 13 kapal eks-asing milik Pathemaang itu, ternyata hanya 10 di antaranya yang tercatat menyandarkan hasil tangkapan di Bitung pada 2014. Hasil Anev Satgas 115 KKP juga menemukan empat kapal terindikasi melakukan transhipment di perbatasan Laut Sulawesi, dan diduga hasil tangkapan dilarikan ke Filipina.

Menurut cerita seorang pelaku industri perikanan di Bitung, dulu memang banyak kapal eks-asing yang tidak menyandarkan hasil tangkapannya ke Bitung. Sebagian besar hasil tangkapan langsung dilarikan ke General Santos, Filipina.

Ini dikarenakan pemilik sesungguhnya kapal-kapal eks-asing itu tetap pengusaha asal Filipina atau negara asal kapal tersebut dibuat, meski di atas kertas tercatat milik warga negara Indonesia. Orang-orang Indonesia yang bekerja dengan sistem inilah yang disebut sebagai agen.

“Mereka seolah-olah melakukan jual-beli kapal di Filipina dan kemudian keluar yang namanya Deed of Sale. Setelah itu, mereka melakukan deletion (penghapusan bendera) asal untuk kemudian diekspor ke Indonesia dan Hubla (Dinas Perhubungan Laut) mengeluarkan Grosse Akta,” ujarnya.

Untuk pengurusan pergantian kebangsaan kapal, agen menetapkan biaya Rp 250-300 juta per satu set kapal, yang terdiri dari kapal penangkap ikan, kapal pengumpul, dan kapal lampu (lightboat). Selain itu, setiap bulannya agen mendapatkan royalti US$ 5.000 per kapal.

“Dia juga dapat bagian 30 persen dari hasil tangkapan,” kata si sumber.

Di jagad bisnis perikanan di Bitung, nama Aksel memang tak asing. Dia dikenal sebagai salah satu agen yang paling lama berbisnis dengan Filipina.

Berbeda dengan tudingan yang dialamatkan pada perusahaan yang terkait dengannya, Aksel enggan menjawab tudingan dirinya sebagai agen kapal eks-asing untuk pemodal Filipina. Pesan singkat yang kami kirim ke telepon genggamnya pada 24 Maret lalu hanya dibaca, tidak lagi berbalas. Dia juga tidak mengangkat panggilan ke telepon genggamnya.

RD Pacific

Lantas bagaimana dengan RD Pacific Internasional? Perusahaan pengolahan ikan di bawah payung RD Corporation milik konglomerat Rodrigo E. Rivera Sr., ini juga tak sepi dari sorotan. Salah seorang direkturnya adalah Ronnel Chua Rivera, anak ketiga Rodrigo yang juga Walikota General Santos, Filipina, sejak 2016.

RD memulai bisnisnya di Bitung dengan menjalankan beberapa kapal penangkap ikan pada 2009. Adapun pabrik pengolahan ikan baru mereka bangun pada 2014. Ada suara miring yang menyatakan, UPI itu dibangun RD sesungguhnya sekadar untuk memenuhi persyaratan perizinan.

Sebab, dalam pasal 50 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, digariskan bahwa setiap orang atau badan hukum asing yang akan melakukan usaha penangkapan ikan, harus melakukan investasi usaha pengolahan dengan pola usaha perikanan tangkap terpadu. Pola terpadu ini dilakukan dengan membangun dan/atau memiliki sekurang-kurangnya UPI di dalam negeri.

Seorang sumber  menceritakan, kegiatan di pabrik pengolahan RD ditenggarai hanya untuk loin, yakni pemisahan daging putih ikan dari kulit dan tulang. Loin tersebut kemudian dikirim ke pabrik milik RD Corp lainnya di Papua Nugini, untuk kemudian diolah menjadi tuna kalengan dan dipasarkan ke Timur Tengah dan Spanyol.

Direktur Utama RD Pacific Michael Bulaong Timoteo saat ditemui di sebuah hotel di Jakarta, pertengahan Maret lalu, memilih tak berkomentar banyak. Yang pasti, kata dia, perusahaannya akan mengikuti aturan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia.

Ia juga menyangkal UPI yang dibangunnya di Bitung sekadar kamuflase. Sebab, dana investasi yang sudah dikucurkan untuk membangun pabrik pengolahan dengan kapasitas maksimal 150 ton per hari itu tak kecil: mencapai Rp 412,2 miliar.

Ini menjadikannya sebagai UPI terbesar di Bitung. Karena itu, “Dengan investasi besar yang ada, kami harus ikuti aturan,” ujarnya.

Tentang tingkat utilisasinya yang terbilang sangat rendah, pihak RD berargumen, UPI yang mereka operasikan baru berdiri di kuartal keempat 2014. Sedangkan pada 2015, sudah diberlakukan kebijakan moratorium kapal eks-asing dan transhipment, yang membuat pasokan ikan ke pabriknya susut drastis.

 
Penangkapan Ikan di Bitung
Rendahnya utilisasi UPI disebabkan oleh kapal milik perusahaan penangkap ikan—baik yang terafiliasi maupun partner UPI—tidak memasok seluruh hasil tangkapannya ke pabrik, namun langsung melarikannya ke Filipina. Donang Wahyu|KATADATA

 

Hal lain yang menjadi pegangan RD Pacific, berdasarkan hasil analisis dan evaluasi (Anev) KKP, mereka tidak termasuk dalam black list alias daftar hitam perusahaan perikanan. Hal ini tercantum dalam surat yang dikeluarkan KKP pada 11 Februari 2016.

Ihwal surat tersebut, salah seorang anggota Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal, atau yang sering disebut Satgas 115, mengatakan, tidak masuk black list bukan berarti tidak ada pelanggaran yang diperbuat sama sekali.

Sebab, daftar hitam hanya berisi perusahaan yang melakukan tindak pidana berat, seperti perbudakan dan mark-down bobot kapal. “Ini mengacu pada hukum pidana,” ujarnya. Sedangkan yang pelanggarannya tergolong relatif ringan, seperti transhipment atau kurang bayar pajak, tak dimasukkan ke daftar itu.

Anev telah dilakukan terhadap 1.132 kapal eks-asing. Hasilnya ditemukan pelanggaran di semua kapal yang diperiksa. Hanya saja, untuk kapal-kapal yang tingkat kesalahannya masih bisa ditolerir, tidak dimasukkan dalam daftar hitam.

Ada tiga kriteria yang harus dipenuhi perusahaan penangkapan ikan agar tidak masuk dalam blacklist. Pertama, tidak dikenai sanksi administrasi berupa pencabutan Surat Izin Usaha Perikanan. Kedua, tidak menjalani proses penyelidikan dan/atau penyidikan oleh aparat penegak hukum. Ketiga, memiliki tingkat kepatuhan yang cukup baik atau masih dapat ditoleransi terhadap kewajiban perpajakannya.

Khusus soal RD, anggota Satgas tadi menyebutkan, salah satu pelanggaran yang diduga dilakukannya adalah praktik transhipment sebanyak enam kali. Indikasinya Sistem Pemantauan Kapal (VMS) dari kapal RD mati di lokasi tertentu. “Pelanggaran transhipment berdasarkan hasil Anev, yaitu berupa alih muat tanpa izin, tanpa observer, dan langsung dibawa keluar negeri.”

 
 
Penangkapan Ikan di Bitung
Manajer RD Pacific Franky Tumio. Donang Wahyu|KATADATA

Manajer RD Pacific Franky Tumio tak menampik temuan Satgas tersebut. Menurut dia, beberapa orang pegawai RD terdahulu, termasuk kapten kapal, memang diketahui telah melakukan pelanggaran dengan memperjualbelikan hasil tangkapan di tengah laut.

Tapi, ia menegaskan, “Yang bersangkutan telah kami pecat.” RD pun selanjutnya hanya akan fokus di sektor pengolahan ikan dan menargetkan bisa memenuhi 50 persen kebutuhan bahan bakunya dari pasokan nelayan lokal.

Halaman:
Reporter: Metta Dharmasaputra
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...