Pacu Daya Saing, Kunci RI Menangkan Persaingan di Dalam RCEP
Ia mencatat, BVA Thailand sebesar 30%, sementara Vietnam 32%. Kemudian, BVA Filipina dan Malaysia masing-masing di atas 25%. Ini artinya, negara tersebut bisa menggunakan produk impor untuk mendorong kinerja ekspor.
Kondisi tersebut berbeda dengan Indonesia yang justru mendorong Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Dengan demikian, produk buatan Indonesia didorong untuk menggunakan bahan baku lokal.
Akibatnya, langkah tersebut dapat menghambat inovasi produk. "Dari A sampai Z, dari paku sampai mesin maunya buatan sendiri. Akhirnya tidak ada yang diproduksi," kata dia.
Menurutnya, peningkatan partisipasi dalam rantai pasok global bisa mendorong pembangunan industri. Yose mencontohkan Tiongkok yang terlebih dulu melakukan hal ini.
Pada 1990, Tiongkok belum terintegrasi dengan rantai pasok global. Saat itu, produk ekspor yang menggunakan bahan baku dari domestik sebesar 73% dari total ekspor. Sementara, produk impor yang berhasil diekspor sebesar 17%.
Tahun 2005, Negeri Panda telah memiliki peran masif dalam rantai pasok global. Hal ini terlihat dari ekspor produk yang menggunakan kandungan domestik menjadi 60%, selebihnya merupakan ekspor produk yang berasal dari impor.
Dengan kondisi tersebut, ekspor Tiongkok ikut melejit dari US$ 2,1 miliar pada 1990 menjadi US$ 71,2 miliar pada 2005. "Jadi kita tidak boleh alergi impor atau produk asing," ujarnya.
Adapun Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman juga berharap daya saing produk olahan pangan RI dapat meningkat. Namun ia juga melihat potensi besar dari RCEP dari perdagangan hingga investasi.
"Penetrasi ke negara tujuan ekspor dengan benefit yang ada di dalam RCEP juga bisa dilakukan," kata Adhi.