Pemerintah Siapkan Tarif Tambahan Produk Tekstil Impor, Termasuk Hijab

Pingit Aria
28 April 2021, 05:26
tekstil impor, tarif, tarif tambahan, tarif safeguard, impor, produk impor
ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie/aww.
Seorang pekerja Huafu Textile Co Ltd dari etnis minoritas Uighur memeriksa mesin produksi benang di perusahaannya di Prefektur Aksu, Daerah Otonomi Xinjiang, Tiongkok, Selasa (20/4/2021). Impor produk tekstil dari Tiongkok telah menekan industri Tanah Air.

Kementerian Perindustrian mengusulkan sejumlah tarif safeguard untuk produk-produk garmen impor. Usulan pemberlakuan tarif tambbahan ini dilakukan guna melindungi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dari serbuan impor yang menghimpit pelaku industri dalam negeri, terutama industri kecil dan menengah (IKM).

Saat ini, usulan tersebut telah dikirim melalui Kementerian Perdagangan ke Kementerian Keuangan. “Masih ada satu tahapan lagi di Kementerian Keuangan, baru dapat ditetapkan oleh Menteri," kata Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki, Kementerian Perindustrian, Elis Masitoh di Jakarta, Senin (26/4) malam.

Elis menjelaskan, tarif safeguard yang diusulkan tersebut bervariasi untuk tiap jenis produk garmen. Misalnya, untuk atasan casual seperti kaus diusulkan tarif Rp 27.000 untuk setiap produk impor yang masuk.

"Jadi, ketika ada atasan casual dari Tiongkok, sebut saja, masuk dengan harga Rp 20.000, dikenakan safeguard Rp 27.000, harga yang masuk ke Indonesia menjadi Rp 47.000," tuturnya. Dengan demikian, ia berharap industri dalam negeri mampu memproduksi jenis pakaian serupa dengan harga yang lebih kompetitif.

Selain itu, untuk produk outer seperti jaket, Kemenperin mengusulkan tarif safeguard sebesar Rp 63.000 per item. Ini merupakan usulan tarif tertinggi dibanding produk garmen lainnya.

Diakuinya bahwa usulan tersebut sempat mendapat penolakan, terutama dari merek global yang telah beredar di Indonesia. Namun, Elis memastikan bahwa pengenaan tarif safeguard ini tidak akan menyasar merek global.

"Kalau naiknya harga jaket untuk merek global, Zara misalnya, dari Rp 1.500.000, kemudian naik jadi Rp 1.579.000, pasti tidak akan pengaruh. Tapi, produk IKM kita head to head dengan harga produk dari Tiongkok, nah itu akan berpengaruh besar," ujarnya.

Simak Databoks berikut: 

Jenis produk lain yang diusulkan untuk mendapat safeguard adalah headwear atau hijab. Tarif yang diusulkan adalah Rp 19.800 per lembar hijab. Elis mengatakan, serbuan impor hijab dari Tiongkok harus betul-betul diantisipasi karena harganya yang sangat murah.

"Harga dari impor itu Rp2.000, sementara produk hijab di Zoya atau Elzatta kan Rp78.000. Jadi, bagaimana mau beli produk dalam negeri kalau yang impor di pasaran harganya Rp 3.000-Rp 6.000," tutur Elis.

Sementara untuk produk gamis, Kemenperin mengusulkan tarif sebesar Rp 59.000 per lembar. Usulan ini sejalan dengan upaya untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai kiblat pakaian Muslim dunia.

Ia menambahkan Kemenperin memilih untuk mengusulkan tarif pasti, bukan persentase untuk tarif safeguard garmen. Sebab, mekanisme tersebut dinilai lebih tepat sasaran. Adapun penentuan besaran tarif yang diusulkan tersebut dihitung dari perbedaan rata-rata harga impor dengan harga jual di dalam negeri.

"Kalau pakai persentase, produk yang murah akan tetap dikenakan tarif rendah. Sementara yang mahal, misalnya produk sportware akan kena tarif tinggi, padahal kita belum mampu memproduksinya di dalam negeri," kata Elis.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil mengatakan, maraknya penjualan pakaian jadi impor dengan harga sangat murah juga mempengaruhi menurunnya pasar tekstil dalam negeri. Saat ini produk impor terutama pakaian jadi masih menguasai pasar domestik.

Safeguards ini sangat penting diberlakukan, agar harga produk-produk impor jadi tidak terlalu murah, sehingga konsumen bisa beralih ke produk dalam negeri,” kata dia.

Serbuan Impor

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati pun mengakui peningkatan impor produk pakaian jadi membuat industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) semakin tertekan.

Enny mengatakan, kebijakan impor pakaian jadi menjadi sentimen buruk bagi investasi dan berdampak pada neraca perdagangan, sehingga secara tidak langsung berpotensi melemahkan konsumsi. Jika itu terjadi, pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19 akan semakin lama.

Seperti diketahui, berlakunya China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) membuat produk tekstil impor dari Tiongkok dan negara-negara seperti Thailand dan Vietnam bisa masuk Indonesia tanpa bea masuk.

Simak Databoks berikut: 

Karena itu, ia mendukung pengenaan tarif safeguard untuk produk ini. Menurut dia, industri TPT di Indonesia melibatkan tenaga kerja yang sangat besar. “Pemerintah perlu memberikan perlindungan pasar dalam negeri dari impor yang berlebihan,” katanya.

Menurut data BPS, pada tahun 2020 ekspor tekstil senilai US$ 10,55 miliar, sementara impor senilai US$ 7,20 miliar. Meskipun surplus, Indef menyoroti komposisi ekspor impor TPT tahun 2020 tersebut paling banyak didominasi adalah pakaian jadi, dibanding benang, serat, dan bahan baku tekstil lainnya.

Benci Produk Impor

Sebelumnya, pernyataan Presiden Joko Widodo soal benci produk luar negeri menuai kontroversi. Saat itu, Jokowi menyerukan ajakan untuk benci produk luar negeri, sementara slogan cintai produk dalam negeri juga tetap digaungkan.

Pernyataan itu dinilai anti-impor. "Bukan hanya cinta, tapi benci. Cinta barang kita, benci produk dari luar negeri," kata Jokowi saat peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (4/3) lalu.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pun angkat bicara. Menurutnya, pernyataan benci produk luar negeri muncul sebagai bentuk kekecewaan Jokowi terhadap praktik predatory pricing oleh penjual asing di platform perdagangan digital yang dinilai merugikan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Indonesia.

Lutfi menyampaikan laporan mengenai kecurangan ini beberapa saat sebelum Jokowi berpidato dalam. Laporan itu rupanya membuat Jokowi murka.

"Jadi kalau disalahin, salahin Menteri Perdagangan karena brief-nya bikin naik pitam. Barang-barang kita, usaha UMKM kita diserang secara tidak adil," kata Lutfi, saat itu.

Adapun, predatory pricing adalah strategi pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah untuk menghancurkan kompetisi pasar.

Lutfi kemudian menjelaskan praktik predatory pricing temuannya. Menurutnya, ada penjual online di luar negeri yang menjual hijab di e-commerce Tanah Air dengan harga yang sangat murah, Rp 1.900 per potong. "Ini jauh di bawah ongkos produksi yang ciptakan nilai tambah untuk Indonesia. Ini hal yang dilarang WTO (Organisasi Perdagangan Dunia)," ujarnya.

Reporter: Antara, Rizky Alika, Cahya Puteri Abdi Rabbi

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...