Indonesia Berencana Pangkas Produksi Nikel Tahun Depan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk memangkas jumlah bijih nikel yang boleh ditambang atau diproduksi pada 2025. Menurut sumber Bloomberg, jumlah produksi nikel tahun depan hanya 150 juta ton, menurun 44,85% dari 272 juta ton pada tahun ini.
Pada laporan lain disebutkan bahwa penurunan angka produksi ini bertujuan untuk mendongkrak harga. Mengutip Bloomberg, rencana ini mungkin salah satu upaya pemerintah untuk menjaga jumlah cadangan nikel Indonesia yang makin menipis.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjadjaran Yayan Satyaki berharap rencana penurunan produksi nikel ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, yakni meningkatkan harga nikel. Tren penurunan harga nikel saat ini disebabkan oleh kelebihan suplai di Indonesia.
"Terjadi oversuplus sebesar 253.000 ton pada pasar global, Indonesia menghasilkan lebih dari 50% pasokan dengan produksi nikel naik dari 24.7% ke 383.000 ton dari 307.000 ton jika dibandingkan dengan tahun lalu pada periode triwulan ke-3,” kata Yayan saat dihubungi Katadata.co.id pada Selasa (24/12).
Sementara itu, produsen nikel terbesar kedua di dunia yakni Cina hanya memproduksi 220.000 ton pada kuartal pertama 2024 atau naik 2,3% dibandingkan periode yang sama pada 2023 berjumlah 215.000 ton.
“Sedangkan menurut prediksi pasar global seperti Fitch, produksi global nikel idealnya di angka 17% pada 2024 ini,” ujarnya.
Hilirisasi Bisa Terdampak
Meski berpotensi mengerek harga, menurut Yayan, kebijakan ini mengkhawatirkan bagi kegiatan hilirisasi. Pengembangan sektor pertambangan Indonesia sangat ekstraktif dan tidak menciptakan nilai tambah yang signifikan.
“Menggunakan data tabel Input-Output BPS 2016, multiplier effect output nikel hanya 1.09 kali artinya kemampuan industri nikel meningkatkan dari industri antara (midstream) ke hilir (downstream) hanya 9%. Sangat kecil,” ucapnya.
Angka ini tertinggal dibandingkan batu bara yang sebesar 1.949 yang berarti memiliki multiplier effect atau efek berganda sektor batubara sebesar 94%. Kendati demikian, Yayan menyebut angka batu bara juga sejujurnya belum signifikan.
“Idealnya efek berganda berada di angka diatas 2-3 kali lipat untuk menumbuhkan industri antara dan industri hilirnya,” kata dia.