Apa yang Terjadi dengan Ekonomi Cina?

Hari Widowati
25 September 2023, 12:17
Ekonomi Cina mengalami pelambatan akibat berbagai masalah, termasuk krisis di sektor properti dan pembengkakan utang pemerintah daerah.
ANTARA FOTO/REUTERS/Lee Smith/aww/sad.
Ekonomi Cina mengalami pelambatan akibat berbagai masalah, termasuk krisis di sektor properti dan pembengkakan utang pemerintah daerah.

Menurut Pritchart, dana tabungan masyarakat kini semakin banyak yang disimpan di obligasi pemerintah dan deposito yang dinilai sebagai instrumen paling aman. Hal ini berpotensi menyebabkan masalah likuiditas di institusi keuangan non-bank.

Utang Pemerintah Daerah Membengkak

Cina juga menghadapi masalah utang pemerintah daerah yang melambung karena pendapatan mereka di sektor properti, khususnya penjualan lahan, anjlok. Faktor lain yang menyebabkan lonjakan utang pemerintah daerah adalah penutupan wilayah (lockdown) yang terjadi selama pandemi Covid-19.

Tekanan fiskal yang menimpa pemerintah daerah ini bukan hanya menimbulkan risiko bagi perbankan Cina tetapi juga memangkas kemampuan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjalankan layanan publik. Para pemimpin pemerintahan saat ini masih menahan diri untuk tidak memberikan stimulus besar-besaran. Pasalnya, Cina harus menanggung beban utang yang besar saat negara tersebut meluncurkan paket fiskal senilai 4 triliun yuan atau setara US$ 586 miliar untuk meminimalisasi dampak krisis finansial global.

Salah satu provinsi di Cina, Guizhou memiliki utang senilai 1,2 triliun yuan atau sekitar US$ 165,7 miliar pada akhir 2022. Rasio utang terhadap PDB Guizhou mencapai 62% sehingga provinsi itu menjadi salah satu provinsi dengan beban utang jumbo di negara tersebut.

Utang ini terjadi karena pemerintah daerah melalui perusahaan investasinya menerbitkan surat utang di luar negeri untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Sebagian besar surat utang itu jatuh tempo pada 2023 dan 2024.

Pemerintah dan bank sentral Cina saat ini sedang bekerja keras untuk mencari ramuan yang cocok untuk membangkitkan kembali perekonomiannya. Liu Shijin, anggota Dewan Kebijakan Moneter Bank Sentral Cina, menyarankan agar negara tersebut melakukan reformasi struktural dengan mendorong para wirausahawan daripada bergantung pada kebijakan ekonomi makro.

Liu menilai ruang untuk melakukan kebijakan moneter semakin terbatas mengingat selisih suku bunga acuan di Cina dan Amerika Serikat (AS) semakin melebar. "Jika Cina terus fokus pada kebijakan-kebijakan makro untuk menstabilkan pertumbuhan ekonomi, efek sampingnya akan lebih banyak," ujar Liu seperti dikutip Reuters, Minggu (24/9).

Usulan Liu mencakup reformasi dari sisi permintaan dengan cara memberikan akses kepada pekerja migran untuk mendapatkan layanan publik yang selama ini dinikmati oleh penduduk di perkotaan. Sementara itu, dari sisi pasokan, stimulus akan diberikan untuk mendorong kewirausahaan di berbagai kawasan industri.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...