Survei INFID: Ketimpangan Penghasilan Paling Tinggi

Dimas Jarot Bayu
20 September 2018, 19:45
Miskin
Arief Kamaludin | Katadata

Persepsi masyarakat Indonesia terhadap ketimpangan sosial yang dialaminya semakin meningkat pada 2018. Berdasarkan survei yang dirilis International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Indeks Ketimpangan Sosial Indonesia pada 2018 berada pada skor 6.

Angka ini meningkat sebesar 0,4 dibandingkan survei serupa yang dilakukan pada 2017. Tahun lalu, Indeks Ketimpangan Sosial Indonesia sebesar 5,6. (Baca juga: Kalla Ingatkan Ketimpangan Ekonomi Daerah Bisa Timbulkan Perpecahan).

Program Manager INFID Siti Khoirun Nimah mengatakan dalam survei kali ini menunjukkan bahwa warga mempersepsi ada enam ranah yang menjadi sumber ketimpangan. Dalam persepsi mereka, ketimpangan yang paling tinggi -sebesar 72,6 persen- berasal dari persoalan penghasilan.

Sebanyak 67,1 persen warga menilai ketimpangan berasal dari kesempatan mendapatkan pekerjaan. “Warga menilai sulit mendapatkan pekerjaan yang layak dan ada ketimpangan terkait kesempatan mendapatkan pekerjaan,” kata Siti di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (20/9).

Kemudian, 63,4 persen masyarakat menilai sumber ketimpangan berasal dari harta benda yang dimilikinya. Adapun 61,8 persen masyarakat menilai sumber ketimpangan berasal dari kepemilikan tempat tinggal.

Peneliti INFID Bagus Takwin melanjutkan, 56 persen masyarakat menilai sumber ketimpangan berasal dari kesempatan dan tingkat pendidikan. Terakhir, 55 persen masyarakat menganggap ketimpangan terjadi karena adanya ketimpangan kesejahteraan keluarga.

Dalam survei yang dilakukan secara khusus di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), persepsi masyarakat terhadap ketimpangan bahkan melampaui skor Indeks Ketimpangan Sosial tingkat nasional. Di TTS, Indeks Ketimpangan Sosial mencapai skor 9.

Bagus menjelaskan, persentase warga di TTS yang mengalami setidaknya satu bentuk ketimpangan mencapai 100 persen. “Kalau seberapa jauh ketimpangan terjadi, di TTS itu ketimpangan parah sekali,” kata Bagus.

Ranah yang menjadi sumber ketimpangan di TTS, yakni penghasilan (98 persen), harta benda yang dimiliki (96), kesempatan mendapatkan pekerjaan (94), kesempatan dan tingkat pendidikan (89), keterlibatan dalam politik (81). Lalu, ketimpangan kepemilikan rumah (80), kualitas lingkungan tempat tinggal (80), kesejahteraan keluarga (79), dan hukum (78).

Bagus menambahkan, ketimpangan gender di TTS mencapai 79. Ketimpangan tersebut terjadi karena adanya diskriminasi terhadap perempuan, terutama dalam hal pekerjaan dan menjadi pejabat.

Survei yang dilakukan Kabupaten Dompu menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap ketimpangan setara dengan skor Indeks Ketimpangan Sosial Indonesia yakni sebesar 6. Meski demikian, 98 warga Dompu mengaku mengalami setidaknya satu bentuk ketimpangan.

Sumber ketimpangan di Dompu terjadi akibat perbedaan dalam kesempatan mendapatkan pekerjaan (90 persen), penghasilan (89), harta benda yang dimiliki (89). Kemudian, kesempatan dan tingkat pendidikan (68), kesehatan (67), dan kesejahteraan keluarga (65).

Hal berbeda justru terlihat dari survei INFID yang dilakukan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Kabupaten di Sulawesi Selatan tersebut justru memiliki indeks ketimpangan sosial yang cukup rendah yakni sebesar 3. (Baca juga: DPR Minta Pemerintah Fokus Pada Program Kesejahteraan).

Di Pangkep, hanya 38 persen warga yang mengaku mengalami setidaknya satu bentuk ketimpangan. Bagus menjelaskan, sumber ketimpangan yang dipersepsikan warga Pangkep hanyalah kesempatan mendapatkan pekerjaan (33 persen), penghasilan (30), dan harta benda yang dimiliki (26). “Pangkep meski secara ekonomi dikategorikan tertinggal, tapi dibandingkan dua daerah lain itu dia rendah,” kata Bagus.

Skor Indeks Ketimpangan Sosial yang dirilis INFID ini berbeda dengan versi Badan Pusat Statistik (BPS). Jika INFID menyebut ketimpangan yang dirasakan warga meningkat, BPS justru menyebut indikator kesenjangan (rasio Gini) pada Maret 2018 menurun dibandingkan tahun lalu. 

Pada 2017, rasio gini yang tercatat pada BPS sebesar 0,393. Sementara, rasio gini pada Maret 2018 sebesar 0,389. (Baca: Didorong Bansos, Penurunan Kemiskinan dan Ketimpangan Disebut “Semu”)

Menurut Bagus, hasil survei lembaganya menjadi catatan penting untuk mengatasi bias data versi pemerintah saat ini. Dengan begitu, data-data tersebut bisa dielaborasikan untuk mendapatkan solusi yang tepat dalam permasalah riil di lapangan. “Kita bisa combine dari persepsi warga dan dari data pemerintah sehingga mendapat gambaran yang sebenarnya,” kata Bagus.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...