Pemerintah Yakin Pembukaan Sawah Baru di Lahan Gambut Tak akan Gagal
Pemerintah optimistis rencana pembukaan lahan pertanian baru di atas lahan gambut akan berjalan mulus. Pemerintah yakin tak akan mengulang kegagalan program satu juta hektare lahan gambut untuk sawah yang dilakukan rezim Presiden Soeharto.
Sebab, pemerintah telah menyiapkan bibit varietas Inbrida Padi Rawa (Inpara). Bibit tersebut dinilai tahan terhadap genangan air, sehingga mampu tumbuh di daerah rawa atau gambut.
"Bibit ini memang bibit untuk rawa. Kita berharap bisa menuai hasil yang lebih baik dibandingkan yang pernah kita lakukan pada lahan gambut yang lalu yang diasumsikan gagal itu," kata Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo usai rapat terbatas melalui video conference, Selasa (5/5).
Selain itu, Syahrul menilai pemerintah akan menyiapkan infrastruktur yang akan mendukung pembukaan sawah baru di lahan gambut tersebut. Adapun, pemerintah rencananya membuka lahan sawah baru di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
(Baca: Antisipasi Kekeringan, Lahan Gambut Akan Dipakai untuk Pertanian)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menambahkan, ada 200 ribu hektare lahan gambut di wilayah tersebut yang bakal dialih fungsikan sebagai areal persawahan. Pemilihan Pulang Pisau untuk membuka areal persawahan baru mengikuti masukan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
BMKG dan KLHK menyebutkan bahwa curah hujan di Kalimantan masih cukup tinggi hingga November 2020. Sementara, Pulau Jawa, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat akan memasuki musim kemarau mulai Agustus 2020.
"Bahkan NTB sudah mulai lebih dahulu. Ini jadi salah satu alternatif yang nanti akan dipelajari oleh Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, dan beberapa BUMN," kata Airlangga.
Menurut dia, Perum Bulog bakal diikutsertakan dalam pembukaan lahan sawah baru di Pulang Pisau. Dengan demikian, Bulog dapat menyerap beras dari hasil panen di sawah baru tersebut sebagai cadangan beras pemerintah ke depannya.
(Baca: Antisipasi Krisis Pangan, Jokowi Perintahkan Pembukaan Sawah Baru)
Rencana pembukaan sawah baru ini berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo untuk mengantisipasi krisis pangan dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian atau Food and Agriculture Organization (FAO) sebelumnya menyatakan, krisis pangan dunia berpotensi terjadi pada April dan Mei 2020.
Kondisi ini dapat terjadi karena rantai pasokan terganggu kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan pembatasan sosial berbagai negara dalam menekan penyebaran virus corona. Tak hanya itu, produksi berbagai komoditas pertanian bernilai tinggi, seperti buah dan sayuran juga ikut terganggu.
Alasannya, komoditas tersebut membutuhkan banyak tenaga kerja dalam produksinya. Begitu pula dengan sektor peternakan, yang akan terpengaruh dalam hal pemenuhan pakan hewan ternak, proses penjagalan, serta pengolahan daging. Sementara komoditas bahan pokok yang padat modal relatif tak terpengaruh.
Meski demikian, rencana pembukaan sawah baru ini ditolak berbagai pihak. Anggota Komisi IV DPR Andi Akmal Pasluddin menilai pemerintah tak belajar dari program satu juta hektare lahan gambut untuk sawah yang gagal saat rezim Presiden Soeharto.
(Baca: Antisipasi Kekeringan, Pemerintah Bakal Percepat Musim Tanam )
Padahal, anggaran dari program tersebut ketika itu senilai Rp 1,6 triliun. "Itu tidak berefek sama sekali terhadap cadangan pangan nasional," kata Akmal dalam keterangan tertulisnya, Jumat (1/5).
Sementara Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai rencana pemerintah membuka sawah baru di atas lahan gambut dapat menyebabkan bencana ekologis. Pasalnya, rusaknya lahan gambut menjadi sumber kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Berdasarkan catatan Walhi, ada 36.952 titik panas terekam berada di areal Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) sepanjang 2019. "Belum lagi karbon yang terlepas dari ekosistem gambut yang rusak memperbesar resiko bencana ekologis," kata
Wahyu mengatakan ekosistem gambut memiliki fungsi hidrologis esensial. Maka jika terjadi kekeringan, ekosistem ini punya potensi terbakar, bahkan kebanjiran pada musim penghujan.
"Belum lagi karbon yang terlepas dari ekosistem gambut yang rusak memperbesar resiko bencana ekologis," kata Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana dalam keterangan tertulisnya, rabu (29/4).
(Baca: Jokowi Antisipasi Krisis Pangan Akibat Dampak Kekeringan)