PPKM Darurat Akan Berlaku, Ini Perbedaan PSBB, PPKM, dan Lockdown
Pemerintah terus melakukan penanganan kasus Covid-19 melalui berbagai kebijakan. Salah satunya kebijakan membatasi gerak masyarakat. Yang terbaru, pemerintah akan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM darurat di Jawa dan Bali mulai 3 Juli hingga 20 Juli mendatang.
Pada awal pandemi corona, kebijakan tersebut adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Lalu, tahun ini pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM.
Di negara lain, pembatasan tersebut kerap disebut lockdown atau karantina. Apa sebenarnya perbedaan ketiganya?
Apa Itu PSBB, Mengapa Tak lagi Berlaku?
Pemerntah sempat memberlakukan PSBB untuk menekan laju penyebaran virus corona. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang ditandatangani menteri kesehatan kala itu, Terawan Agus Putranto.
Berdasarkan Permenkes tersebut, PSBB adalah pembatasan kegiatan penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi virus corona. Mekanisme kebijakannya, dimulai dari gubernur, bupati, atau walikota mengusulkan PSBB di daerahnya. Kemudian, menteri yang menetapkan persetujuannya.
Syarat bagi wilayah yang harus melakukan PSBB adalah jumlah kasus dan kematian Covid-19 meningkat signifikan. Setelah disetujui, pembatasan ini diterapkan di lingkup wilayah tertentu. Bisa provinsi, kabupaten, atau kota.
Pembatasan kegiatan pada PSBB dapat meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja. Selain itu, kegiatan keagamaan juga dibatasi. “Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lain khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan,” dikutip dari situs Covid19.go.id.
Sempat menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat, karena dianggap tidak efektif. Pasalnya, kenaikan kasus Covid-19 masih terjadi. Pemerintah akhirnya memutuskan mengeluarkan kebijakan baru PPKM pada 11 Januari 2021.
Apa Beda PPKM dengan PSBB?
PPKM digunakan pemerintah untuk menggantikan istilah PSBB. Kebijakan dalam PPKM dinilai pemerintah sebagai upaya menangani pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai ini.
Kebijakan itu membatasi kegiatan masyarakat pada tingkat yang bersifat mikro. PPKM dilaksanakan per daerah yang mengalami lonjakan tinggi kasus Covid-19. Tingkat penyebaran kasusnya dilihat pada tingkat RW/RT dari jumlah rumah yang terpapar pandemi virus corona.
Kini, pemerintah menyusun PPKM mikro darurat seiring dengan Lonjakan kasus virus corona di Indonesia. Rencananya, pembatasan aktivitasnya diperluas ke zona oranye atau berisiko sedang dari sebelumnya hanya di zona merah saja.
Rencana itu tersurat dalam dokumen hasil rapat KPC-PEN pada Selasa (29/6), yang salinannya diperoleh Katadata.co.id. Salah satu perubahan pembatasan pada PPKM mikro darurat adalah penerapan bekerja dari kantor (work from office/WFO) sebanyak 25% dari kapasitas kantor pemerintah, BUMN/BUMD, dan swasta yang berada di zona merah dan oranye.
Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19 Alexander K. Ginting pun tidak menampik isi dari dokumen tersebut. Namun, ia mengatakan aturan itu masih dalam tahap pembahasan. "Masih dalam pengkajian dan harmonisasi. Kita tunggu tanggal mainnya," ujarnya, Rabu (30/6).
Berikutnya, pembelajaran daring tetap dilakukan secara daring. Selain itu, kegiatan sektor esensial dapat beroperasi 100%, dengan protokol kesehatan lebih ketat. Untuk tempat makan dan minum serta pusat perbelanjaan hanya dapat beroperasi hingga pukul lima sore.
Kegiatan ibadah bersama ditiadakan sementara. Begitu pun dengan kegiatan lain di area publik ditutup sementara hingga dinyatakan aman.
PPKM ini melibatkan berbagai elemen masyarakat di tingkat bawah. Mulai dari ketua RT/RW, kepala desa/lurah, Satuan Perlindungan Masyarakat (Satlinmas), dan Bintara Pembina Desa (Babinsa). Juga, Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) hingga karang taruna.
Lalu, Apa Itu Lockdown?
Di sejumlah negara, lockdown digunakan sebagai istilah penghentian mobilitas masyarakat. Aturannya di Indonesia sebenarnya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan.
Undang-undang tersebut mendefinisikan lockdown sebagai karantina wilayah alias pembatasan penduduk dalam suatu wilayah. Termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi atau terkontaminasi penyakit. Langkah ini dilakukan guna mencegah kemungkinan penyebaran penyakit tersebut meluas.
Pada 1 April 2020, Presiden Joko Widodo pernah berbicara soal ini. “Lockdown itu orang tidak boleh keluar rumah. Transportasi semua berhenti. Kegiatan kantor dihentikan. Nah, kitda tidak mengambil jalan itu,” katanya.
Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono menyebut pemerintah salah menangkap persepsi lockdown. “Pemerintah menganggap seakan-akan kehidupan mati. Padahal tidak seperti itu,” ujarnya.
Untuk menerapkan lockdown total di Indonesia, menurut dia, sudah tidak mungkin. “Karena ada perbedaan persepsi di sini,” ujarnya pada Katadata.co.id pada 17 Juni lalu.
Beberapa negara lain berani lebih dulu mengambil langkah lockdown total. Contohnya adalah Wuhan, Tiongkok, tempat awal wabah Covid-19. Sebulan setelah menerapkan lockdown total, aktivitas sosial dan ekonomi di kota itu kembali normal. Lonjakan kasus pun tidak pernah terjadi lagi.
Melansir Kompas.com, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) juga mendesak pemerintah menerapkan lockdown. Epidemiolog Dicky Budiman pun menyebut PPKM ini tidak akan efektif karena tidak memperkuat 3T, yaitu pengetesan (testing), penelusuran (tracing), dan perawatan (treatment).
Namun, Jokowi mengatakan bahwa PPKM dan lockdown memiliki esensi yang sama.Yakni, membatasi kegiatan masyarakat.
Penyumbang bahan: Alfida Febrianna (magang)