Menjawab Tantangan Sawit Berkelanjutan pada COP26 dengan Jangka Benah

Arofatin Maulina Ulfa
Oleh Arofatin Maulina Ulfa - Tim Publikasi Katadata
5 November 2021, 20:05
Menjawab Tantangan Sawit Berkelanjutan pada COP26 dengan Jangka Benah
123rf.com/asnida marwani
Ilustrasi lahan kelapa sawit, CPO

Di Indonesia, praktik mencampur sawit dengan jenis tanaman kehutanan lain sudah kerap dilakukan. Di beberapa wilayah bahkan menggunakan istilah sendiri, misalnya simpukan di Kalimantan Timur, tembawang di Kalimantan Barat, repong di Lampung Barat, para di Sumatera Barat, dan talun di Jawa Barat.

“Sebenarnya ketika 2018 kami merumuskan konsep SJB, justru kami (Fakultas Kehutanan UGM) terinspirasi dari praktik masyarakat di lapangan. Bersama-sama dengan SPOS Indonesia dan Yayasan Kehati kami melakukan inventarisasi praktik sawit campur di Sumatera dan Kalimantan Tengah,” kata Ari.

Beberapa wilayah yang menjadi tempat survei untuk memahami proses kebun sawit campur di antaranya Kota Palangka Raya, Kabupaten Langkat,  dan Kabupaten Tebo.

Di Palangka Raya, tepatnya di Kelurahan Sei Gohong, Kecamatan Bukit Batu, seorang warga bernama Ibak, asli suku Dayak, mengelola kebun sawit campur seluas ‎empat ha.  Ia mencampur tanaman di kebunnya dengan berbagai jenis tanaman berkayu seperti karet, sengon, jelutung dan petai, hingga buah nanas.

Sementara di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, pola pengelolaan lahan sawit campur banyak dijumpai di pekarangan rumah yang memiliki luasan kurang dari satu ha dengan pola tanam yang acak. Masyarakat di sana mencampur kebun sawit dengan tanaman kakao, durian, pisang, bahkan tanaman sayur-sayuran seperti sawi dan bayam.

Di Kabupaten Tebo, Jambi, dijumpai praktik kebun sawit campur dengan tanaman kehutanan yang tampak menjanjikan secara finansial. Para petani ini menggunakan tanaman meranti sebagai campuran dan sudah dilakukan selama lebih dari 15 tahun.

Makmun Murod, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Kasang Panjang, Desa Sungai Jernih, Provinsi Jambi yang juga menerapkan kebun sawit campur mengatakan misi utama yang menjadi tujuan para petani ini menerapkan SJB adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, menyelamatkan hutan, serta merawat lingkungan.

“Tanaman yang kita tanam memiliki nilai ekonomi. Ke depan hutan bisa terbangun kembali tanpa mengganggu stabilitas ekonomi masyarakat. Usia sawit kami rata-rata mencapai 17 tahun, dan kami menerapkan SJB sudah 2 tahun ini,” tuturnya dalam forum yang sama.

Namun berbagai tantangan kerap ia dan para petani lain jumpai. Di antaranya perlunya kesabaran untuk memetik hasil ekonomi kebun sawit campur.

“Lahan (sawit) yang sudah tidak produktif sudah mulai kami singkirkan untuk kami tanami dengan tanaman kehutanan. Namun begitu, tidak mudah menanam kayu, perlu kesabaran,” terangnya.

Menurut Makmun, kebun sawit campur efektif menjaga stabilitas pendapatan di tengah fluktuasi harga sawit. Namun harus ada jaminan harga terkait komoditas yang ditanam selain sawit jika suatu saat dilakukan panen.

“Jangan sampai hutan lestari tapi masyarakat tidak sejahtera. Pemerintah bisa menetapkan harga dasar (komoditas selain sawit) untuk melindungi kesejahteraan kami,” ujarnya.

Makmun juga berharap pemerintah serius menerapkan SJB ke depan. Ia menekankan pentingnya pendampingan, pembinaan petani, serta pengawalan agar program ini dapat membuahkan hasil.

“Bagaimana langkah pemerintah mengawal program ini supaya tidak sia-sia,” katanya.

Adapun Sri Suwanto juga menekankan, pentingnya dukungan kebijakan baik pusat dan daerah dan kepastian hukum terhadap penerapan SJB.

“Harus bisa meyakinkan bahwa Jangka Benah bisa menghasilkan (keuntungan) lebih dibanding sawit saja. Pekerjaan rumahnya adalah meyakinkan bahwa kebun campur dapat mendatangkan manfaat ekonomi.”

Ia juga berharap agar pemerintah pusat dan daerah memberi dukungan melalui adanya peta indikatif SJB.

Ari menambahkan, inventarisasi data perkebunan sawit di kawasan hutan memang menjadi hal yang penting. Serta bagaimana menerjemahkan kebijakan pusat di daerah terkait program SJB. Menurutnya, keberhasilan SJB akan sangat tergantung bagaimana daerah masing-masing mengimplementasikan kebijakan ini.

“Membangun hutan memang tidak mudah dan tidak sebentar perlu kesabaran,” pungkas Ari.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...