10 Poin UU TPKS yang Penting untuk Diketahui

Siti Nur Aeni
14 April 2022, 12:32
10 Poin dalam UU TPKS yang Penting untuk Diketahui
ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.
Ketua DPR Puan Maharani (kanan) disaksikan Wakil Ketua DPR Rahmad Gobel (kiri) dan Lodewijk F Paulus kedua kanan) menerima laporan pengesahan RUU TPKS dari Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya (kedua kiri) saat Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/4/2022).
  • Pencabutan hak asuh anak atau pengampunan.
  • Pengumuman identitas pelaku.
  • Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.
  • Pembayaran restitusi.

6. Ancaman pidana dan denda untuk korporasi yang melakukan TPKS

Tindak pidana kekerasan seksual tidak hanya dilakukan individu saja, namun juga bisa dilakukan oleh pihak korporasi. Dalam pasal 13 UU TPKS diterangkan bahwa korporasi yang melakukan kekerasan seksual akan dikenakan denda sekitar Rp200 juta hingga Rp2 miliar.

Tak hanya itu, korporasi yang melakukan TPKS juga terancam mendapatkan pidana tambahan, berupa:

  • Pembayaran restitusi.
  • Pembiayaan pelatihan kerja.
  • Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak kekerasan seksual.
  • Pencabutan izin tertentu.
  • Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha atau kegiatan korporasi.
  • Permbubaran korporasi.

7. Keterangan saksi/korban dan satu alat bukti cukup untuk menentukan terdakwa

Biasanya untuk menentukan dakwaan terhadap pelaku tindak kejahatan membutuhkan keterangan saksi/korban atau alat bukti yang lengkap. Namun, dalam UU TPKS, satu keterangan dan barang bukti sudah cukup untuk menentukan dakwaan terhadap seseorang. Adapun alat bukti yang sah untuk membuktikan TPKS, yaitu:

  • Keterangan saksi.
  • Keterangan para ahli.
  • Surat.
  • Petunjuk.
  • Keterangan terdakwa.
  • Alat bukti lain seperti informasi dan/atau dokumen elektronik yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

8. Korban memiliki hak untuk mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan

Poin penting lainnya yang ada dalam UU TPKS yaitu korban kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Restitusi yang dimaksud, antara lain:

  • Ganti rugi atau kehilangan kekayaan atau penghasilan.
  • Ganti rugi yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berhubungan langsung sebagai akibat dari tindak pidana.
  • Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologi.
  • Ganti rugi atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana.

9. Korban berhak atas pendampingan

Selain berhak atas restitusi dan layanan pemulihan, dalam UU TPKS juga dijelaskan bahwa korban kekerasan seksual berhak atas pendampingan. Nantinya, UPTD PPAD atau lembaga penyedia layanan wajib memberikan pendampingan dan layanan yang dibutuhkan kroban serta membuat laporan kepolisian.

10. Tidak bisa mengguanakn pendekatan restorative justice

Restorative justice adalah penyelesaian perkara yang menitikberatan kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban. Hal ini berguna untuk menghindari upaya penyelesaian masalah dengan menggunakan uang. Tidak diperkenankannya restorative justice harapannya para pelaku bisa jera dan tidak mengulangi perbuatannya.

Kekerasan Seksual di Indonesia

Kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah ada sejak dahulu. Jenis tindak kekerasan seksual yang ada di Indonesia cukup beragam. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan bahwa, kasus kekerasaan seksual yang tercatat di lembaga layanan mencapai 2.363 kasus pada 2021.

Dari sekian banyak kasus yang tercatat, kasus perkosaan menjadi tindak kekerasan seksual yang paling banyak. Mirisnya, kasus pemerkosaan dalam kerwakinan atau marital rape juga cukup tinggi bahkan menempati posisi kedua.

Adapun jenis kekerasan seksual terhadap perempuan sepanjang 2021, tersaji dalam data berikut ini.

Halaman:
Editor: Agung
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...