Empat Isu yang Bikin Penunjukkan Penjabat Kepala Daerah Jadi Sensitif
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota memerintahkan agar pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan serentak November 2024. Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan menunjuk seorang penjabat.
Imbasnya, total ada 272 kepala daerah yang masa jabatannya habis sebelum pelaksanaan Pilkada serentak. Mereka terdiri dari 101 kepala daerah pada tahun ini, dan 171 kepala daerah pada 2023.
Kemendagri saat ini tengah menyeleksi para calon secara tertutup. Untuk jabatan gubernur, Kemendagri akan menyerahkan tiga nama calon untuk dipilih salah satunya oleh presiden. Sementara untuk bupati dan wali kota, Kemendagri akan memilih dari nama calon yang diusulkan gubernur.
Menyangkut proses seleksi yang tertutup, menurut anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Zulfikar Arse Sadikin, sudah sesuai amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. “Selama ini memakai aturan yang lama, tidak jadi soal,” katanya saat dihubungi Katadata.co.id pada Selasa (10/5).
Zulfikar justru menyoroti empat persoalan yang membuat proses penunjukkan penjabat kepala daerah menjadi sensitif. Hal ini menyangkut jumlah penjabat kepala daerah yang banyak. Kemudian durasi penjabat yang ditunjuk untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, hadirnya penunjukkan penjabat kepala daerah di tengah momen pemilu 2024, serta mengenai kedudukan dan wewenang penjabat ketika memimipin.
Soal kedudukan dan wewenang penjabat nanti, Zulfikar menilai perlu ada kesamaan di antara kepala daerah yang dipilih melalui pilkada maupun penjabat yang dipilih Kemendagri. Terutama jika melihat kepada aturan hukum saat ini, tidak ada regulasi spesifik untuk wewenang dan kedudukan penjabat kepala daerah.
“Dia bisa datang ke DPRD, dia bisa tanda tangan, dia bisa mutasi, promosi, yang penting ada izin dari atasan,” ujarnya.