PKS Gugat Presidential Threshold Jadi 7%, Ini Alasan Hukumnya

Image title
6 Juli 2022, 18:10
PKS, presidential threshold
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/YU
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu (tengah) didampingi jajaran petinggi PKS menyampaikan keterangan kepada wartawan usai mendaftarkan permohonan uji materi Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (6/7/2022).

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi melayangkan gugatan uji materi presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Dalam UU Pemilu, pencalonan presiden hanya bisa dilakukan oleh partai atau koalisi partai yang memperoleh 20% kursi DPR atau 25% secara sah suara nasional di pemilu sebelumnya. Ketetapan ini sudah berlaku sejak Pemilu 2009.

Dalam gugatan uji materinya, PKS mengajukan gugatan agar presidential threshold diturunkan menjadi tujuh sampai sembilan persen. “Angka yang rasional dan proporsional berdasarkan kajian tim hukum kami adalah pada interval 7% sampai 9% kursi DPR,” kata Presiden PKS Ahmad Syaikhu pada Rabu (6/7).

Salah satu pertimbangan dari pemilihan angka tersebut karena secara historis pengajuan presidential threshold hingga 0% mendapat penolakan dari Mahkamah Konstitusi (MK). Lebih lanjut, pihak PKS akan menyampaikan secara detail terkait pokok gugatan dan argumentasi hukum dalam persidangan mendatang.

Syaikhu mengakui bahwa suara PKS yang sedikit di parlemen menjadi salah faktor yang melatar belakangi gugatan presidential threshold. Saat ini PKS memiliki total 8,7% suara dari seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Akibatnya, bergaining position atau daya tawar PKS dalam penjajakan koalisi menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. “Saya kira bukan hanya PKS, tapi parpol-parpol tentu juga sangat kesulitan dalam membangun koalisi secara leluasa,” ungkapnya.

Selain tak memiliki bergaining position yang tinggi, PKS juga tak dapat leluasa mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Tak hanya terhadap partai, kata Syaikhu, tingginya ambang bantas presidensial juga merugikan para kandidat capres dan cawapres yang potensial.

Sebagai partai politik yang kadernya berada di parlemen dan turut serta dalam pembahasan Undang-Undang Pemilu, Syaikhu mengungkapkan bahwa PKS tetap akan menggugat penurunan presidential threshold. Menurutnya, partai politik tetap memiliki legal standing terkait judicial review ambang batas pencalonan presiden. “Partai politik walaupun tadi sudah melakukan pembahasan, dia bisa memiliki legal standing terkait dengan judicial review ini,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal PKS, Aboe Bakar Al Habsyi menyampaikan bahwa gugatan terhadap presidential threshold dilakukan PKS oleh dua pemohon, yaitu Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan Sekjen PKS Habib Aboe Bakar Al Habsyi sebagai Pemohon I. Sementara Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Al Jufri akan menjadi Pemohon II.

Alasan Salim Segaf menjadi pemohon tersendiri karena merupakan bakal capres PKS hasil rembuk para ulama yang berpotensi dirugikan atas ambang batas pencalonan 20% suara parlemen. Oleh sebab itu, Aboe menilai bahwa legal standing yang dimiliki Salim dalam gugatan ini cukup kuat. “Cukup kuat. Yakin saja. Doakan saja PKS berhasil,” kata Aboe.

Mahkamah Konstitusi sudah berulangkali menolak pengajuan uji materi UU Pemilu mengenai syarat ambang batas pencalonan presiden. Terakhir, MK menolak gugatan mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo. "Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim, Anwar Usman membacakan amar putusannya dalam sidang putusan pada Kamis (24/2).

Saat membacakan amar putusan, Anwar mengatakan Gatot selaku pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Hal ini lantaran pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu adalah partai politik ataupun koalisi partai politik peserta pemilu dan bukan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.

Reporter: Ashri Fadilla
Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...