Konsultan Warga Negara Amerika Jadi Tersangka Korupsi Satelit Kemhan

Yuliawati
Oleh Yuliawati
16 Desember 2022, 16:32
korupsi satelit kemenhan
Pixabay
Ilustrasi satelit

Pada saat itu persetujuan penggunaan slot orbit 123 derajat BT dari Kominfo belum diterbitkan. Kominfo menerbitkan persetujuan pada 29 Januari 2016.

Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemenhan pun belum memiliki anggaran untuk membiayai sewa satelit.

"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," ujar Mahfud.

Untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016. Padahal anggarannya pada 2015 belum tersedia.

Anggaran Satelit Komunikasi Pertahanan tersebut tersedia pada 2016. Namun, saat anggaran tersedia, Kemenhan melakukan "self blocking".

Berdasarkan catatan Katadata,  Avanti mengajukan gugatan arbitrase di London International Court of Arbitration pada Agustus 2017.

Gugatan dilayangkan karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani. 

Mengutip dari situs Spacenews.com, Kementerian Pertahanan Indonesia memiliki kontrak sewa Artemis dari Avanti senilai US$ 30 juta. Namun, Kemenhan baru membayar US$ 13,2 juta dan menyisakan tagihan US$ 16,8 juta.

 Menghadapi gugatan arbitrase membuat Kemenhan mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT kepada Kominfo pada 25 Juni 2018.

 Selanjutnya,  pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK).

Namun, PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang ditinggalkan Kemenhan. 

 Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase internasional London, Inggris menjatuhkan putusan yang mewajibkan RI membayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar Rp 515 miliar.

Kemudian baru-baru ini menyusul kabar RI kalah gugatan arbitrase dari perusahaan satelit Navayo dengan perkara yang sama. Pemerintah wajib membayar sekitar Rp 304 miliar.

Mahfud memperkirakan angka kerugian dari gugatan proyek satelit ini akan bertambah besar karena masih beberapa perusahaan lain meneken kontrak dengan Kemenhan. 

Mereka adalah AirBus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. "Jadi banyak sekali nih beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan," kata dia.

Halaman:
Reporter: Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...