Petani Kirim Surat Protes ke Sri Mulyani soal Pungutan Ekspor Sawit

Rizky Alika
5 Juni 2020, 18:28
Petani Kirim Surat Protes ke Sri Mulyani soal Pungutan Ekspor Sawit.
ANTARA FOTO/FB Anggoro
Pekerja mengangkut tandan buah segar kelapa sawit hasil panen. Sejumlah petani saawit bakal melayangkan surat protes ke Menteri Keuangan Sri Mulyani perihal kenaikan pungutan ekspor sawit.

Pemerintah menaikkan pungutan ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO) mulai 1 Juni 2020. Namun kebijakan ini dinilai membebani kalangan petani, sehingga mereka berenca mengirimkan surat protes kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persatuan Petani Sawit Indonesia (POPSI) Gamal Nasir mengatakan, selain ke Menkeu Sri Mulyani Indrawati, surat tersebut juga akan dilayangkan kepada Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

"Kami akan susun surat ke Menko Perekonomian dan Menkeu demi keadilan petani. Kebijakan itu tidak sejalan dengan Undang-Undang Perkebunan kita," kata Gamal lewat diskusi video conference, Jumat (5/6).

(Baca: Kontribusi Sawit terhadap Penerimaan Negara Belum Optimal)

Menurutnya, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan disusun untuk kepentingan petani dan pekebun agar dapat hidup sejahtera. Aturan tersbut juga menyebutkan perkebunan memiliki peran dan potensi dalam rangka mewjudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.

Namun kenyataannya, kenaikan pungutan dana sawit justru dianggap merugikan petani lantaran membuat harga Tandan Buah Segar (TBS) jatuh. Semestinya, pemerintah memberi subsidi kepada petani sawit karena harga TBS petani yang terus turun.

Menurutnya, adanya pungutan CPO sebesar US$ 50 per ton sebelumnya telah menyebabkan  harga TBS turun sekitar Rp 120-150/kg. Dengan adanya pungutan CPO saat ini yang dinaikkan menjadi sebesar US$ 55 per ton, petani khawatir akan kembali menekan harga TBS.

"Padahal petani mengalami kerugian sejak Januari 2018 hingga Oktober 2019, mengalami harga TBS tidak layak dan juga tak ada subsidi untuk petani," ujarnya. 

(Baca: Dana Kelolaan Sawit Bakal Mengalir ke Surat Utang Negara Mulai 2020)

Namun, perlakuan berbeda justru dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan pengusaha dari kerugian. Oleh karena itu, asosiasi meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikkan pungutan sawit lantaran dapat membunuh petani kelapa sawit, terlebih di tengah kelesuan ekonomi akibat Covid-19. 

Untuk diketahui, pemerintah telah menaikan pungutan CPO/dana sawit dari US$ 50 per ton menjadi US$ 55 per ton mulai 1 Juni 2020. Kebijakan tersebut ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57/PMK.05/2020 Tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada 29 Mei lalu.

"Peraturan Menteri ini (PMK 57/2020) mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2020," tulis Sri Mulyani dalam Pasal 12.

(Baca: Ekspor 2020 Diproyeksi Membaik, Penerimaan Bea Keluar Dipatok Rp 2,6 T)

Sri Mulyani menyebutkan, perubahan tarif dilakukan salah satunya dengan mempertimbangkan surat dari Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Pengarah Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Surat tersebut menyebutkan, keputusan rapat Komite Pengarah pada 30 Maret 2020 dan 20 Mei 2020 berupa usulan kepada Menkeu untuk melakukan perubahan tarif BDPKS.

Reporter: Rizky Alika
Editor: Ekarina

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...