Mengenal Program Food Estate Pemerintah dan Kritiknya

Image title
25 Juni 2020, 16:05
Petani menanam padi di lahan bekas gambut di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Kamis (11/6/2020). Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyiapkan 165 ribu hektare (ha) lahan bekas pengembangan lahan gambut (P
ANTARA FOTO/Makna Zaezar/aww.
Petani menanam padi di lahan bekas gambut di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Kamis (11/6/2020). Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyiapkan 165 ribu hektare (ha) lahan bekas pengembangan lahan gambut (PLG) dengan nilai Rp497,2 miliar di Kalimantan Tengah sebagai program pengembangan lumbung pangan baru dan akan dikerjakan secara bertahap dari tahun 2020 sampai dengan 2022.

“Kami pekan lalu menyempatkan diri ke sana bersama dengan ahli tanah serta rawa. Lahan fungsional seluas 57.200 hektar hanya menghasilkan 1,7 sampai dengan 2,9 ton per hetkar,” kata Basuki saat rapat dengan Komisi V DPR, Rabu (24/6).

(Baca: Mentan Sebut Kebutuhan Beras Hingga Akhir Tahun Tercukupi)

Menuai Kritik

Akan tetapi proyek ini menuai kritik dari Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan. Menurutnya lahan yang dipersiapkan di eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar era Orde Baru tak cocok. Lebih baik dilakukan di lahan yang sesuai untuk menanam.

PLG di era Presiden Soeharto dimulai tahun 1995 melalui Keppres Nomor 82/95. Rencananya dulu lahan gambut yang dikembangkan seluas 1,45 juta hektar dengan tujuan menyangga pasokan beras nasional. Kebijakan ini dilakukan menyusul penurunan luas area pertanian dari 16,6 juta hektar menjadi 13,4 juta hektar dalam rentang waktu 10 tahun antara 1983 sampai 1993.

Pemilihan Kalimantan Tengah sebagai lokasi lantaran memiliki lahan rawa seluas 5,8 juta hektar. Selain itu, proyek ini juga ditargetkan bisa menjadi tujuan baru transmigrasi yang akan menampung 1,7 juta jiwa atau 316.000 kepala keluarga.

Proyek ini gagal dan diakhiri pada 1998 melalui Keppres Nomor 33/98 yang dikeluarkan Presiden B.J Habibie. Kegagalan dikarenakan terganggu secara irigasi, seperti lahan di Kabupaten Kapuas yang kering. Pemerintah akhirnya mengeluarkan Keppres Nomor 80 tahun 1999 untuk merehabilitasi lahan gambut.

Daniel pun meminta pemerintah mematangkan skema dan konsep serta meninjau ulang kesiapan lahan. “Dan harus melibatkan masyarakat petani di sana,” katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (25/6).

(Baca: Jurus Pemerintah Menyehatkan UMKM dari Hantaman Corona)

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari 161 organisasi bahkan secara tegas menolak program food estate. Melalui keterangan resminya yang diunggah di situs ELSAM, mereka menyebut proyek ini bisa menambah kerugian negara. Hal ini berkaca kepada proyek PLG Orde Baru yang memakan anggaran Rp 1,6 triliun tapi gagal dan justru menambah anggaran rehabilitasi sebesar Rp 3,9 triliun.

“Hampir semua proyek food estate di Indonesia yang bertumpu pada pembangunan skala luas dan modal dari anggaran pemerintah dengan melibatkan perusahaan terus mengalami kegagalan dan diiringi isu korupsi,” tulis keterangan itu yang dikutip Katadata, Kamis (25/6).

Mereka juga menilai program food estate bisa merusak lahan gambut yang merupakan ekosistem unik dan penting bagi keseimbangan iklim, perlindungan biodiversitas lahan basah, dan untuk menghindari penyakit zoonosis dari perusakan alam.

“Rencana pembangunan food estate di lahan gambut kembali menunjukkan ketidakpedulian negara terhadap perlindungan ekosistem rawa gambut,” tulis keterangan itu.

(Baca: Siasat UMKM Meniti Gelombang Krisis Covid-19)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...