Candu Drama Korea Jadi Incaran Bisnis Netflix, Gojek hingga Vidio
Pandemi corona yang memaksa banyak orang menjalani aktivitasnya di rumah mendorong lonjakan permintaan hiburan dari aplikasi streaming film seperti Netflix, Disney+ hingga Viu. Salah satu jenis hiburan yang paling banyak dicari yakni seri drama Korea.
Salah satu penggemar drama Korea, Tia (29), bahkan memiliki tiga aplikasi sekaligus untuk mendapatkan aneka konten yang beragam. Biasanya pada akhir pekan dia membuka aplikasi di ponsel pintar (smartphone) dan mencari-cari drama Korea Selatan apa yang menarik. Selama libur itu, biasanya dia menonton dua hingga tiga konten.
Tren menonton hiburan lewat aplikasi ini terekam dari data Media Partners Asia (MPA). Total waktu yang dihabiskan pengguna internet di Indonesia, Filipina, Singapura, dan Thailand untuk menonton streaming video, di luar YouTube, meningkat 57% secara kuartalan (qtoq) pada kuartal II. Ini tertuang dalam laporan bertajuk ‘Southeast Asia Online Video Consumer Insights & Analytics: A Definitive Study’ versi terbaru.
Netflix memimpin di keempat negara tersebut, dengan 39% pangsa pasar. Disusul oleh Viu dengan 17%. Pemain lain dengan jumlah pengguna terbanyak yakni Vidio dari Indonesia, iQIYI Tiongkok, WeTV dan Line TV di Thailand, serta iflix.
Berdasarkan surat Netflix kepada investor, tertulis bahwa 46% dari total 195 juta lebih pelanggan berbayar, berbasis di Asia Pasifik. Pendapatan perusahaan yang naik 66% tahun lalu pun ditopang oleh pasar Jepang dan Korea Selatan.
Sumber Reuters mengatakan, perwakilan Netflix akan hadir dalam pertemuan tahunan parlemen Korea Selatan pada akhir pekan ini. “Kemungkinan besar, perusahaan akan investasi,” demikian dikutip dari Reuters, Rabu lalu (21/10).
Sejak akhir tahun lalu, Netflix meningkatkan investasinya di Negeri Ginseng. Selain itu, bermitra dengan studio besar termasuk CJ ENM dan JTBC.
Lebih dari 70 acara buatan kreator lokal Korea Selatan dirilis sebagai original bermerek Netflix. Konten ini tersedia dalam 31 bahasa subtitle, dan 20 lebih sulih suara.
Serial original Netflix bersama kreator Negeri Ginseng yakni Kingdom yang tayang pada awal tahun lalu. Setelahnya, perusahaan meluncurkan lebih banyak konten. Yang terbaru yakni film ‘The School Nurse Files’, drama ‘Private Lives’, dan dokumenter ‘Blackpink: Light Up the Sky’.
Berdasarkan data MPA, Netflix memiliki 3,3 juta pelanggan berbayar di Indonesia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Sedangkan data Korea Foundation, penggemar hallyu atau korean wave di Asia dan Oseania sekitar 72 juta pada tahun lalu.
Secara global, jumlah penyuka hallyu naik 11% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi 99,32 juta. Sebanyak 15 juta di antaranya berbasis di Eropa dan 12 juta di Amerika Serikat (AS).
“Drama Korea diperkirakan melampaui Tiongkok, dengan memasuki pasar Amerika Utara pada tahun ini, dan menjadi pasar konten terbesar di dunia,” kata Analis industri di Eugene Investment and Trust Han Sang-woong dikutip dari AsiaTimes, Januari lalu (11/1).
Selain banyaknya penggemar, Han meyampaikan bahwa biaya produksi serial Korea Selatan lebih murah ketimbang AS. Ia menyebutkan, rerata anggaran untuk memproduksi drama terkenal Negeri Paman Sam US$ 3,4 juta atau empat miliar won per episode.
Sedangkan drama Korea dengan biaya produksi termahal yakni 'Arthdal Chronicles’ menghabiskan tiga miliar won per episode.
Selain Netflix, Viu menggandeng rumah produksi asal Korea Selatan seperti SBS dan KBS melalui Wavve, serta CJ ENM dan JTBC pada Juli lalu. Berdasarkan data MPA. Viu memiliki 2,2 juta pelanggan berbayar di Indonesia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Berdasarkan survei MPA selama 16-29 Maret, delapan konten Viu berada di urutan teratas yang paling banyak ditonton oleh konsumen streaming video di Indonesia. Tujuh di antaranya merupakan drama Korea, hanya satu yang berasal dari Thailand.
Survei Statista selama Oktober-Desember 2019 menunjukkan, hampir 50% dari 500 responden berusia 15-59 tahun di Indonesia, sangat menyukai drama Korea. Hanya 10,6% yang tidak.
Managing Director PCCW Media Group Janice Lee mengatakan, perusahaan berfokus menawarkan konten lokal yang relevan dengan minat konsumen di setiap negara mereka beroperasi. “Investasi kami mencakup konten pan-regional teratas, seperti Parasite dan A World of Married Couple hingga produksi Viu Original,” kata dia dalam siaran resmi, dikutip dari laman Avia.org, Juni lalu (15/6). PCCW Media Group merupakan pengelola Viu.
Pemain di Tanah Air, GoPlay besutan Gojek juga menggaet perusahaan hiburan CJ ENM HK. Melalui kerja sama ini, film seperti Parasite hingga Train to Busan bisa diakses melalui GoPlay.
VP Marketing GoPlay Sasha Sunu mengatakan, perusahaan akan tetap berfokus menyajikan konten lokal karya anak bangsa. Di satu sisi, “konten Korea sangat disukai oleh banyak orang Indonesia. Kami mencari cara untuk memasukkannya ke dalam katalog,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (23/10).
Ia menilai, drama Korea memiliki performa yang baik, dengan basis penggemar yang cukup spesifik. Oleh karena itu, perusahaan menggandeng CJ ENM HK untuk menghadirkan puluhan konten seperti Steel Rain 2: Summit, Deliver Us From Evil, dan Peninsula, yang belum tayang di Indonesia.
Berdasarkan data Statista, pendapatan dari penjualan film di Korea Selatan mencapai sekitar 2,5 triliun won dari 609 film yang diproduksi pada tahun lalu. Salah satu film yang menuai kesuksesan yakni Parasite, yang memenangkan empat Academy Awards, termasuk Best Picture.
“Kami berharap, berbagai konten premium tersebut dapat memperkuat layanan pay-per-view GoPlay Rental yang diluncurkan Agustus lalu,” kata dia. Apalagi, berdasarkan data Statista, pendapatan dari segmen pay-per-view di Indonesia berpotensi mencapai US$ 71 juta tahun ini.
Hal senada disampaikan oleh VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar. “Film Korea Selatan tentu menjadi penggaet konsumen,” ujar dia kepada Katadata.co.id, Jumat (23/10).
Namun, Vidio juga mengklaim unggul pada konten olahraga. “Pengguna Vidio memang cukup berimbang antara perempuan dan laki-laki,” katanya. Setidaknya, perusahaan menggaet 60 juta pengunjung per bulan.
Berdasarkan data Statista, pendapatan segmen Video on-Demand (VoD) di Indonesia diproyeksikan US$ 304 juta atau Rp 4,3 triliun pada tahun ini. Pertumbuhannya diramal 9,6% per tahun hingga 2024.
Statista juga memprediksi, penetrasi pengguna layanan VoD di Indonesia tumbuh 8,4% tahun ini. Sedangkan pendapatan rata-rata per pengguna diperkirakan US$ 7,35 atau Rp 106 ribu.
Sekretaris Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro mengatakan, pasar VoD Indonesia cukup besar. Akan tetapi, “para operator harus punya konten yang bagus dan orisinal untuk bisa bertahan," ujarnya kepada Katadata.co.id, Agustus lalu (24/8).
CEO BRI Ventures Nicko Widjaja pun menyampaikan, investor mempertimbangkan beberapa faktor sebelum berinvestasi di startup VoD. Pertimbangan itu di antaranya struktur usia yang disasar, daya beli masyarakat, dan pola perilaku pengguna dalam memanfaatkan layanan tersebut.
Dari sisi pertumbuhan bisnis, menurutnya akan sangat bergantung kepada kualitas konten yang ditawarkan. “Kembali ke pasar untuk memutuskan apakah mereka menyukai konten yang ditawarkan atau tidak," ujar Nicko.