Kans Ruangguru dan Alodokter Jadi Unicorn ke-6 Indonesia saat Pandemi
Startup pendidikan (edutech) dan kesehatan (healthtech) belum satu pun berstatus unicorn, meski digadang-gadang menjadi incaran investor sejak 2018. Di tengah pandemi corona, transaksi perusahaan rintisan di kedua sektor ini pun melonjak dan memperbesar peluang untuk meningkatkan valusi.
Pada awal tahun, setidaknya empat startup pendidikan meraih pendanaan yakni Arkademi, Pahamify, Gredu, dan Zenius. Pada kuartal II dan III, empat lainnya yaitu Eduka, ProSpark, Infradigital, dan Kiddo memperoleh dana segar.
Meski begitu, berdasarkan data Crunchbase, Ruangguru yang mendekati valuasi US$ 1 miliar (Rp 14 triliun) atau skala unicorn. Startup pendidikan ini meraih delapan kali investasi dan sudah berada pada putaran seri C.
Sedangkan startup kesehatan Indonesia belum memperoleh dana segar pada tahun ini. Padahal, CB Insights mencatat, pendanaan ke sektor ini secara global memecahkan rekor US$ 2,8 miliar untuk 162 kesepakatan pada kuartal III.
Namun, berdasarkan data Crunchbase, perusahaan rintisan kesehatan Indonesia yang masuk seri C yakni Alodokter. Sedangkan Halodoc pada tahap seri B dengan tiga kali pendanaan.
Direktur Utama Mandiri Capital Eddi Danusaputro mengatakan, startup pendidikan dan kesehatan memang diminati oleh investor saat pagebluk Covid-19. “Ini karena mereka menjawab kebutuhan konsumen dan terbukti sektor ini diminati selama pandemi,” katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (3/11).
Hal senada disampaikan oleh Managing Partner Kejora Ventures Eri Reksoprodjo. “Edutech dan healthtech mempunyai upside growth potential besar tahun depan, karena menjadi kebutuhan dasar setiap orang,” kata dia kepada Katadata.co.id.
Berdasarkan data World Economic Forum (WEF) pada Juli lalu, penggunaan aplikasi belajar online meningkat di ASEAN imbas pagebluk virus corona. Rinciannya dapat dilihat pada Databoks berikut:
Dari sisi healthtech, Frost and Sullivan memperkirakan nilai industri kesehatan di Indonesia US$ 21 triliun pada tahun lalu atau naik dari US$ 7 triliun saat 2014.
Meski begitu, peluang startup pendidikan dan kesehatan untuk menjadi unicorn keenam tergantung pada skala masing-masing perusahaan. “Kalau mereka sudah pendanaan empat kali atau seri D ke atas, mungkin saja menjadi unicorn,” ujar Eri.
Saat ini, Indonesia memiliki satu decacorn atau valuasinya US$ 10 miliar lebih (Rp 140 triliun) yakni Gojek. Selain itu, empat unicorn yaitu Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, dan OVO.
Peluang Ruangguru Jadi Unicorn
Dari sektor pendidikan, Ruangguru digadang-gadang bakal menjadi unicorn sejak tahun lalu. Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara bahkan menyapa CEO Ruangguru Adamas Belva Syah Devara saat bicara soal startup jumbo dalam acara 10 Tahun Anniversary East Ventures pada Oktober tahun lalu.
Ruangguru pun mendapatkan pendanaan seri C US$ 150 juta atau sekitar Rp 2,1 triliun pada Desember 2019. Investasi ini dipimpin oleh modal ventura asal Amerika Serikat (AS), General Atlantic dan GGV Capital, dan diikuti oleh EV Growth, UOB Venture Management, serta beberapa investor.
Namun, Tech In Asia melaporkan bahwa valuasi perusahaan rintisan itu diprediksi hanya US$ 500 juta atau sekitar Rp 7 triliun. Nilainya masih jauh di bawah skala unicorn.
Meski begitu, Ruangguru masuk dalam daftar 50 perusahaan pendidikan paling transformatif di dunia, menurut Global Silicon Valley (GSV) pada bulan lalu. Startup edutech ini menjadi satu-satunya perwakilan dari Asia Tenggara.
Sejak awal tahun, perusahaan juga menggaet lima juta konsumen baru. Layanan Sekolah Online Ruangguru Gratis juga telah digunakan oleh 10 juta pelajar.
Peningkatan penggunaan tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mengimbau guru dan pelajar menggelar proses belajar mengajar dari rumah saat pandemi. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan per 13 April menunjukkan, ada 68,73 juta siswa yang harus belajar dari rumah.
Meski begitu, CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menilai bahwa penyedia aplikasi konferensi video seperti Zoom dan Google Meet lebih diuntungkan selama pandemi corona.
Berdasarkan survei DailySocial dan JakPat, Zoom dan Google Meet lebih banyak digunakan ketimbang Ruangguru. Angkanya tertera pada Databoks berikut:
Tech In Asia melaporkan, startup pendidikan Indonesia menghadapi tiga masalah utama. Pertama, kesediaan atau kemampuan pelanggan membayar layanan terbatas. Kedua, infrastruktur digital tidak memadai di beberapa daerah. Terakhir, minim talenta digital yang relevan.
Untuk poin pertama, Bank Dunia mencatat kurang dari 5% pengguna yang mau membayar layanan setelah masa uji coba gratis. “Indonesia tertinggal jauh dibandingkan India dan Tiongkok terkait kesediaan membayar,” demikian kata investor modal ventura dikutip dari Tech In Asia, Oktober lalu (2/10).
Terkait tantangan infrastruktur digital, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat, ada 12.548 desa yang belum terakses internet generasi keempat (4G).
Akses internet pun menjadi salah satu kendala siswa belajar di rumah saat pandemi, sebagaimana Databoks berikut:
Selain itu, McKinsey and Company memperkirakan Indonesia kekurangan 600 ribu talenta digital setiap tahunnya atau 9 juta pada 2030.
Tantangan Startup Kesehatan Raih Pendanaan
Ketiga tantangan yang dihadapi oleh startup pendidikan, juga dirasakan oleh healthtech. Founder ProSehat dan Chairman Asosiasi Healthtech Indonesia Gregorius Bimantoro mengatakan, pemanfaatan layanan kesehatan virtual belum masif di Tanah Air, meskipun melonjak saat pandemi.
“Belum semuanya beralih ke konsultasi virtual,” kata Bimantoro dalam acara media gathering virtual Asosiasi Modal Ventura untuk Startup lndonesia (Amvesindo) bertajuk ‘Mengupas Dinamika dan Tren Pendanaan Startup 2020-2021’, Senin (2/11).
Pemerintah memang mengeluarkan dana besar untuk penanganan Covid-19. Namun, “itu tidak masuk ke healthtech, tetapi layanan offline,” ujar pria yang akrab disapa Bimo itu.
Dari sisi investor, CEO BRI Ventures Nicko Widjaja mengatakan bahwa aturan di sektor kesehatan sangat kaku. “Lebih rigid dibandingkan finansial,” kata dia.
Hal itu mengingat data kesehatan sangat sensitif. “Kalau regulasi tidak berubah, ya bagaimana?” kata Nicko. “Sangat sulit startup kesehatan untuk meningkatkan skala (bisnis). Mungkin perlu ada sandbox." Sandbox adalah pusat inkubasi atau wadah untuk menguji model bisnis, produk, layanan dan teknologi startup.
Sedangkan Direktur Investasi BRI Ventures William Gozali mengatakan, startup kesehatan di Indonesia lebih berfokus pada kesehatan dan perawatan diri (consumer healthcare) atau berbeda dengan ekosistem di Singapura. Selain itu, ia sepakat bahwa tantangan terbesarnya yakni regulasi.
“Kalau beli barang di e-commerce dan salah, bisa ganti. Tapi kalau produk kesehatan salah, itu mengerikan juga,” kata William.
Startup teknologi kesehatan Halodoc dan Good Doctor punya cara tersendiri untuk mencegah kesalahan diagnosis di platform. Head of Medical Good Doctor Adhiatma Gunawan mengatakan, perusahaan mempunyai komite medis untuk menjaga kualitas konsultasi dan diagnosa di platform.
Selain itu, mereka meminta 'feedback' dari para pengguna untuk menilai layanan melalui user satisfaction survey. "Kami selalu memandang positif dan selalu memperbaiki layanan," kata Adhiatma dalam SDG Virtual Talks Ramadan Edition "Berobat Online: Cara Baru saat Pandemi", Mei lalu (19/5).
Sedangkan Chief of Medical Halodoc Irwan Heriyanto mengatakan, ada protokol dalam memberikan layanan. Bagi pasien dengan keluhan penyakit ringan, ditangani dengan konsultasi dan memberikan diagnosa.
Namun, pasien yang memiliki penyakit berat akan dirujuk ke fasilitas kesehatan offline. "Biasanya kami hanya memberikan pandangan soal penyakitnya bagaimana. Kanker misalnya, kami sarankan ke fasilitas kesehatan offline agar mereka bisa kontrol," ujar Irwan.