Setelah AS & Tiongkok, India Perketat Aturan untuk Raksasa Teknologi
Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah India memperketat aturan praktik bisnis raksasa teknologi global seperti Google, Facebook, dan Apple. Pengetatan seperti ini juga diterapkan oleh Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Beberapa aturan yang diperketat oleh India yakni terkait monopoli, data pribadi pengguna, serta konten. "Pengawasan peraturan telah meningkat dalam beberapa waktu terakhir di India, seputar perlindungan data, privasi, campur tangan pemilu, dan disinformasi," kata direktur eksekutif Internet Freedom Foundation Apar Gupta dikutip dari CNBC Internasional, Selasa (20/4)
Yang terbaru, pemerintah India mengumumkan aturan baru pada platform media sosial agar lebih bertanggung jawab atas konten. Mereka diminta menghapus unggahan yang dianggap melanggar hukum.
Selain media sosial, penyedia layanan pengiriman pesan diminta mengidentifikasi unggahan asli dari pesan tertentu. Akan tetapi, ini bisa melanggar enkripsi end to end yang dijanjikan oleh perusahaan kepada pengguna.
Enkripsi end to end tersebut membuat perusahaan atau pihak ketiga tidak dapat melihat isi pesan pengguna.
Pengetatan peraturan tersebut diterapkan beberapa hari setelah India menegur Twitter karena tidak segera mematuhi perintah penghapusan konten. Unggahan yang dimaksud diduga merupakan hoaks tentang petani yang memprotes reformasi pertanian baru.
Associate fellow di Observer Research Foundation’s (ORF) Trisha Ray menilai, aturan konten tersebut tidak memiliki kejelasan dalam hal parameter. "Interpretasinya jadi luas dan beragam, yang kerap membuatnya menjadi ‘palu untuk mencari paku’," kata Ray.
Sedangkan dekan di bidang bisnis global di Tufts University’s The Fletcher School Bhaskar Chakravorti mengatakan, ada beberapa alasan yang mendorong pemerintah India memperketat aturan kepada raksasa teknologi.
Faktor utamanya yakni munculnya platform lokal. Bhaskar menilai, pemerintah India ingin memberikan peluang besar bagi pertumbuhan bisnis lokal dengan cara menekan platfrom global.
Salah satu pemain lokal yang dimaksud yakni Reliance Jio. Perusahaan ini merambah berbagai layanan, termasuk telekomunikasi, streaming video, dan e-commerce.
"Reliance Jio akan diuntungkan dari kebijakan pemerintah yang mengambil sikap lebih agresif terhadap perusahaan teknologi global," ujar Bhaskar.
Selain itu, menurutnya karena didorong ambisi politik pemerintah. Perdana Menteri India Narendra Modi ingin ada kemandirian ekonomi digital. "Akhirnya, pemerintah semakin ingin mengontrol narasi media di seluruh negeri,” katanya.
Sebelumnya, AS dan Tiongkok lebih dulu menekan raksasa teknologi global. Di AS, upaya menjegal big tech dilakukan sejak mantan Presiden AS Donald Trump memimpin.
Trump mengkaji aturan antimonopoli raksasa teknologi. Subkomite Kehakiman Kongres AS juga menyelidiki dan merilis laporan terkait praktik monopoli yang diduga dilakukan oleh Google hingga Facebook.
"Amazon, Apple, Google, dan Facebook masing-masing memegang kekuasaan monopoli atas sektor-sektor penting ekonomi kita (AS). Momen monopoli ini harus diakhiri," kata kata anggota DPR AS David Cicilline dalam pernyataan dikutip dari Reuters, akhir pekan lalu (16/4). "Saya berharap bisa dibuat UU yang membahas masalah signifikan ini.”
Sedangkan Tiongkok menerbitkan aturan antimonopoli yang baru pada November tahun lalu. Ini melengkapi Undang-undang (UU) Antimonopoli pada 2007, yang berlaku untuk perusahaan asing yang mendominasi pasar.
Partner di firma hukum Han Kun, Ma Chen mengatakan bahwa otoritas khawatir perusahaan menjadi terlalu kuat, sehingga mempersulit korporasi lain berkembang. "Ini momen yang menentukan,” ujarnya dikutip dari Bloomberg, November tahun lalu (10/11/2020).
Badan Regulasi Pasar Tiongkok (SAMR) pun mendenda Alibaba US$ 2,8 miliar atau Rp 40,9 triliun pekan lalu. Ini karena raksasa e-commerce itu dianggap melakukan praktik yang memaksa pedagang untuk memilih salah satu dari dua platform, alih-alih dapat bekerja dengan keduanya.
SAMR juga merekrut lebih banyak pekerja. Selain itu, menambah anggaran.