Cerita Lima Startup Bangun Bisnis Berdampak Sosial di Indonesia

Fahmi Ahmad Burhan
23 Maret 2022, 14:34
startup, dampak sosial, ramah lingkungan, gojek, grab, motor listrik, mobil listrik
Katadata
Diskusi Katadata Forum dengan tema "Transformasi Indonesia Menuju Raksasa Ekonomi Digital" di Jakarta, pada 2018.

Beberapa startup seperti Jejak.in yang didukung Gojek, Waste4Change, dan Sociolla mulai merambah bisnis berdampak sosial. Sektor ini dinilai potensial. Namun, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh perusahaan rintisan.

CEO H! Cups Kathleen Gondoutomo mendirikan startup minuman kekinian untuk memberdayakan perempuan di wilayah tingkat (tier) dua dan tiga sejak 2019. "Tujuan kami memberdayakan perempuan dan menciptakan lapangan pekerjaan," katanya dalam DBS Asian Insights Conference 2022, Rabu (23/3).

Porsi pekerja perempuan di H! Cups lebih dari 80%. Tahun lalu, startup ini mempekerjakan lebih dari 150 perempuan. 

Perusahaan rintisan itu mampu menjual sekitar 120 ribu cangkir minuman kekinian per bulan.

Kathleen menilai, peran perempuan terhadap ekonomi terpinggirkan selama ini. "Hanya 54% wanita kerja yang produktif. Lebih sedikit dibandingkan 84% pria produktif," katanya. 

Ia juga kerap menemui fakta di lapangan bahwa banyak perempuan putus sekolah. Ini karena orang tua lebih mendahulukan sekolah untuk anak laki-laki.

"Maka, kami melibatkan perempuan agar ikut berkontribusi pada ekonomi digital di Indonesia," ujarnya.

Ada juga Rowland Asfales, yang mendirikan merek sepatu lokal berbahan ramah lingkungan bernama Pijakbumi. Merek sepatu lokal asal Bandung ini didirikan pada 2016.

Penjualan sepatu berbahan ramah lingkungan dari Pijakbumi mencapai 100 juta unit tahun lalu. Produk ini dipasarkan di dalam dan luar negeri, seperti Jepang dan Swiss.

Ia mengembangkan produk berbahan ramah lingkungan karena melihat banyaknya limbah sepatu. Bahkan, beberapa di antaranya mengandung bahan berbahaya bagi manusia.

"Maka, kami berkomitmen untuk berinovasi. Tidak hanya berorientasi pada dampak, tetapi juga keberlanjutan dari sisi bisnis," ujarnya.

Startup berdampak sosial lainnya yakni Waste4Change, yang berdiri pada 2014. Pendiri sekaligus CEO Waste4Change M Bijaksana Junerosano bercerita, perusahaan awalnya hanya mengolah limbah di satu gedung kantor.

Kemudian, layanan diperluas. Waste4Change pun melayani hampir 40 area komersial dan 2.000 rumah per 2020.

Waste4Change juga mendapatkan pendanaan dari tiga investor yakni Agaeti, East Ventures, dan SMDV pada 2020. Dana segar ini digunakan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan limbah menjadi 2.000 ton per hari pada 2024.

Ia mengatakan, perusahaan berfokus kepada isu lingkungan dan sampah karena pengelolaan limbah di perkotaan belum optimal. "Ini isu yang pelik, kompleks, dan darurat," ujarnya.

Berdasarkan studi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2015, 69% limbah Indonesia dibuang ke tempat pembuangan sampah. Lalu 23,5% lainnya dibakar, dikubur, atau dikotori secara ilegal. Hanya 7,5% yang didaur ulang.

Sociolla bekerja sama dengan Waste4Change untuk menggelar kampanye Waste Down, Beauty Up. Startup di bidang kecantikan ini pun menggelontorkan dana dalam jumlah besar.

Co-Founder sekaligus CMO Social Bella Chrisanti Indiana menyampaikan, perusahaan ingin tumbuh berkelanjutan. Oleh karena itu, Sociolla beralih ke bisnis ramah lingkungan.

Namun, ia tidak memerinci anggaran yang digelontorkan untuk beralih ke bisnis ramah lingkungan. "Lumayan besar," kata Chrisanti saat wawancara terbatas dengan media di Lippo Mall Puri, Jakarta, pada Januari (13/1).

Ada juga Jejak.in yang menyediakan solusi berbasis kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT). Mereka berfokus membantu bisnis melakukan perimbangan karbon (carbon offset).

Jejak.in juga mengikuti program akselerasi Gojek Xcelerate. Founder sekaligus CEO Jejak.in Arfan Arlanda mengatakan, perusahaan menggaet pabrik skala besar dan kecil untuk mengurangi emisi karbon.

Salah satu produk yang dibuat Jejak.in yakni Tree and Carbon Storage Monitoring Platform, yang dapat mengumpulkan dan menganalisis data ekologis lingkungan. "Kami berharap masyarakat berpartisipasi aktif ikuti pengurangan jejak karbon," ujar Arfan, dua tahun lalu (14/9/2020).

Berdasarkan laporan berjudul ‘Southeast Asia's Green Economy: Opportunities on the Road to Net Zero’, Asia Tenggara membutuhkan investasi US$ 2 triliun hingga 2030 untuk mengurangi emisi.

Dana tersebut akan dialokasikan untuk sejumlah upaya, seperti mempercepat peralihan ke energi hijau, membuat sektor pertanian pangan menjadi lebih efisien, mengurangi polusi hingga cara yang tidak merusak lingkungan.

Dengan investasi tersebut, Bain & Company, Microsoft dan Temasek Holdings Singapura memperkirakan, 90% emisi di Asia Tenggara berkurang. Upaya transformasi bisnis menuju ekonomi ramah lingkungan di kawasan juga akan menawarkan keuntungan US$ 1 triliun per tahun pada 2030.

Namun Founder UMG IdeaLab Kiwi Aliwarga menilai, startup yang merambah bisnis ekonomi hijau akan menghadapi dua tantangan, sebagai berikut:

1. Keinginan pemerintah

"Indonesia saat ini masih mengandalkan batu bara. Ini jadi dilema," kata Kiwi saat konferensi pers virtual, akhir tahun lalu (7/10/2021).

Menurutnya, energi batu bara masih memberi nilai ekonomi yang besar bagi Indonesia. "Apabila mau berganti ke ekonomi hijau, butuh investasi yang tidak sedikit," katanya.

Meski begitu, menurutnya pemerintah perlu memiliki target jelas dalam pengembangan ekonomi hijau. "Pada 2030 zero carbon. Harus ada target seperti itu," ujarnya.

Pemerintah sendiri menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca hingga 29% dengan usaha sendiri dan 41% lewat dukungan internasional pada 2030. Untuk mencapai target ini, butuh dana Rp 266,2 triliun.

2. Talenta digital

Kiwi menyampaikan, startup Indonesia saat ini menghadapi minimnya talenta digital. Hal ini membuat perusahaan rintisan kesulitan mengembangkan berbagai teknologi yang menunjang untuk beralih ke ekonomi hijau.

Riset McKinsey dan Bank Dunia menunjukkan, Indonesia membutuhkan sembilan juta tenaga digital hingga 2030. Ini artinya, ada kebutuhan 600 ribu pekerja digital per tahunnya.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...