Penyedia Identitas Digital Sambut Baik Persyaratan Izin Fintech OJK

Cindy Mutia Annur
11 Maret 2019, 16:38
OJK
Katadata | Arief Kamaludin

Startup penyedia identitas digital PrivyID dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menyambut baik ketentuan syarat perizinan financial technology (fintech) pinjam-meminjam (lending) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keduanya menganggap, adanya syarat tersebut seharusnya bisa memberi keuntungan bagi fintech lending  yang akan mengajukan izin. 

CEO & Founder PrivyID Marshall Pribadi mengatakan, fintech lending dapat memperoleh beberapa keuntungan yang terjamin dari PrivyID. Seperti, pihaknya memiliki kewenangan untuk memverifikasi database yang terkoneksi dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapill). Sehingga PrivyID dapat mengecek identitas fintech lending secara langsung melalui teknologinya.

“Tanda tangan digital itu menggunakan kriptografi, sehingga enkripsi dokumen dapat dilakukan dengan kode yang kami berikan,” ujar Marshall saat dihubungi pihak Katadata, Jumat (8/3). 

(Baca: OJK Perketat Izin Fintech Pinjaman untuk Lindungi Konsumen)

Selain itu, PrivyID juga telah memiliki sertifikat elektronik X.509 yang merupakan standar sertifikasi dokumen digital yang telah diakui secara internasional. Dengan begutu, segala perubahan pada dokumen yang telah ditandatangani pengguna nantinya bisa terlacak. Misalnya, ketika ada pengeditan pada jumlah bunga yang tertera pada dokumen, maka pihak PrivyID dapat melacaknya.

Adapun terkait skema kerjasama yang dilakukan PrivyID dengan fintech lending, pelanggan akan diminta untuk mendaftar akun terlebih dahulu. Setelah fintech lending terverifikasi oleh PrivyID, mereka akan mendapatkan sertifikat digital yang dapat dipakai untuk syarat perizinan ke OJK. Biaya yang dikenakan pun cukup terjangkau, yakni sebesar Rp 2.500 per tandatangan.

Dalam enam bulan terakhir, PrivyID telah bekerja sama dengan belasan fintech lending. Di antaranya terdapat Amartha, Koinworks, AwanTunai, Akulaku, KlikACC, KreditPro, dan Kerjasama.com.

Menurutnya, beberapa pelaku fintech lending yang sudah menggunakan jasanya merasa terbantu dengan jasa yang ia tawarkan. Bahkan, jumlah pelanggan PrivyID diklaim meningkat dalam kurun enam bulan terakhir dan dengan rata-rata jumlah pelanggan per minggu mencapai dua sampai tiga perusahaan.

“Tantangannya paling, kalau ada fintech lending yang masih belum fasih menggunakan teknologi, jadi terkendala cara mereka menggunakan password hingga penggunaan email,” ujarnya.

Sebagai informasi, hingga saat ini penyelenggara tanda tangan digital di Indonesia baru ada tiga. Untuk pelayanan bagi TNI, Polri, dan aparatur sipil negara, yakni hanya ada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Sedangkan di luar aparatur sipil negara, pengaju permohonan sertifikat elektronik dapat mengajukan ke penyelenggara swasta, yakni sementara hanya melalui PrivyID.

Mellihat persyaratan izin OJK yang mewajibkan fintech lending untuk menggunakan tanda tangan digital, Marshall menilai ke depannya akan semakin banyak penyelenggara jasa serupa dengan perusahaannya. 

(Baca: Asosiasi Fintech Target Salurkan Pinjaman Rp 45,2 Triliun di 2019)

Senada dengan Mashall, Direktur Eksekutif AAUI Dody Dalimunthe mengatakan pihaknya juga menyambut baik rencana fintech lending yang harus mendapat dukungan asuransi dalam persyaratan izin produk. “Hal ini sebagai bentuk mitigasi risiko bagi fintech lending, serta memberikan manfaat juga bagi industri untuk meningkatkan pertumbuhan premi para pelaku asuransi,” ujar Dody.

Lebih lanjut Dody menjelaskan, pemberian asuransi ke pinjaman nasabah fintech lending bisa dilakukan seperti halnya asuransi pinjaman kredit bank yang telah berjalan, tentunya dengan izin produk sebelumnya ke OJK.

Menurutnya, dalam 10 tahun terakhir ini mulai banyak asuransi yang mengembangkan usahanya ke pasar asuransi ritel, termasuk fintech lending. Sementara itu, lanjut Dody, saat ini juga sudah banyak perusahaan asuransi yang menjalin kerjasama dengan fintech lending untuk mendorong asuransi kredit konsumtif. Sayangnya, AAUI tidak memiliki detail produk asuransi yang telah ditawarkan ke fintech lending oleh perusahaan asuransi anggota AAUI.

Menurut Dody, resiko pemberian asuransi ke pihak fintech lending dinilai relatif kecil dibandingkan pinjaman yang diberikan ke perbankan. Namun, tantangannya adalah seleksi debitur yang dilakukan oleh kreditur karena potensi risiko asuransi kredit adalah dari moral hazard debitur. “Oleh karena, itu pihak asuransi mengharapkan, ada proses analisa debitur yang prudent (bijaksana) juga di fintech lending,” ujar Dody.

Dody menjelaskan, asuransi mikro adalah produk asuransi yang ditujukan dengan segmen menengah kebawah. Ciri-citi produk ini di antaranya adalah nilai pertanggungan yang relatif kecil dan segmen masyarakat menengah ke bawah, serta nilai pinjaman juga kecil. Sehingga menurut Dody, produk asuransi kredit mikro bisa menjadi dukungan bagi pinjaman mikro fintech lending.

(Baca: Asosiasi Fintech Siap Bantu Anggotanya yang Sulit Ajukan Izin)

Sebagai informasi, OJK telah menetapkan enam syarat bagi fintech pinjaman yang ingin mengajukan izin. Pertama, mewajibkan fintech pinjaman untuk menggunakan tanda tangan digital. Kedua, fintech pinjaman wajib mengajukan izin ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Ketiga, fintech pinjaman harus bekerja sama dengan penyelenggara asuransi mikro.

Keempat, menjaga hubungan dengan sistem perbankan secara baik. Kelima, fintech pinjaman wajib menggandeng penyelenggara penilai kredit (credit scoring) yang punya izin OJK. Keenam, bermitra dengan perusahaan penagihan pinjaman (debt collector) yang terdaftar di Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI).

Reporter: Cindy Mutia Annur
Editor: Ekarina

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...