Cambridge Analytica dan Peran Negara dalam Perlindungan Data Pribadi

Pingit Aria
30 Januari 2020, 06:00
Facebook & Cambridge Analityca
123RF.com/Andrey Yanevich

Toh, kebijakan itu tak menghentikan proses hukum yang berjalan. Pada Juli 2019, Komisi Perdagangan Federal (Federal Trade Commission/FTC) Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi berupa denda sebesar US$ 5 miliar atau sekitar Rp 70 triliun kepada Facebook atas kasus Cambridge Analytica.

(Baca: Wacana Denda Facebook, Regulasi Uni Eropa dan Usaha Bendung Hoaks)

Menurut FTC, ini adalah denda terbesar yang pernah dijatuhkan kepada sebuah perusahaan teknologi atas alasan pelanggaran privasi pengguna. Selain itu, CEO Facebook Mark Zuckerberg harus melapor dalam laporan kuartalan maupun tahunannya mengenai langkah-langkah yang diambil perusahaan untuk melindungi data pengguna.

Kasus ini juga membuat pemerintah di berbagai negara menjadi lebih menyadari pentingnya perlindungan terhadap data pribadi. Selain pemerintah AS, Uni Eropa adalah otoritas yang paling awal meluncurkan General Data Protection Regulation (GDPR).

Bagaimana dengan Indonesia?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru menandatangani Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) pada 24 Januari 2020. RUU tersebut segera dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

(Baca: Diteken Jokowi, Ini Poin-poin RUU Perlindungan Data Pribadi)

Berdasarkan draf per Desember 2019, RUU PDP memuat 72 pasal dan 15 bab. Beleid itu mengatur tentang definisi data pribadi, jenis, hak kepemilikan, pemrosesan, pengecualian, pengendali dan prosesor, pengiriman, lembaga berwenang yang mengatur data pribadi, serta penyelesaian sengketa. Selain itu, RUU tersebut juga akan mengatur kerja sama internasional hingga sanksi yang dikenakan atas penyalahgunaan data pribadi.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate mengatakan, ada tiga unsur penting dalam RUU PDP. Pertama, kedaulatan data. Pemerintah ingin data yang ada di dalam negeri tak diolah dan dikuasai asing. Kedua, terkait kepemilikan data baik pribadi maupun yang spesifik lainnya. Ketiga, pengaturan lalu lintas data.

Pemerintah akan membuka peluang terhadap investasi dan bisnis setelah UU itu terbit. “Aturan ini sangat penting dan relavan, karena kehidupan global dan nasional ekonomi telah bertransformasi ke era digital," ujar Johnny dalam konferensi pers di kantornya, Selasa (28/1).

Carole Cadwalladr

Carole Cadwalladr adalah jurnalis yang menguak skandal Cambridge Analytica. Lebih dari setahun melakukan investigasi dalam kasus itu, Cadwalladr dan timnya menjadi finalis dalam penghargaan bergengsi di bidang jurnalisme, Pulitzer Prize 2019.

Perempuan kelahiran 1969 di Taunton, Somerset, Inggris itu akan menjadi salah satu pembicara dalam Indonesia Data and Economic Conference 2020 (IDE Katadata) dengan tema Indonesia’s New Landscape: Challenges and Opportunities. Ia akan mengisi sesi Data Privacy in Digital Era: Lesson Learnt from Brexit and US Presidential Election. 

Selain Cadwalladr, akan hadir 40 pembicara, dari mulai menteri, kepala daerah, pemimpin perusahaan dan startup, hingga akademisi. Acara yang digelar di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, pada 30 Januari 2020 tersebut, memiliki 13 sesi dengan tema bahasan, antara lain The Rise of Asia; Boosting’s Indonesia Investment; Data Privacy in Digital Era; Big Data: New Capital for Growth; Research, Source of Economic Growth; dan Indonesia’s Talent Deficit.

(Baca: IDE Katadata: Para Menteri & Pengusaha akan Bahas Lanskap Baru Ekonomi)

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Cindy Mutia Annur, Fahmi Ahmad Burhan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...