Pendanaan Turun, Unicorn di Asia Tenggara Semakin Mengejar Untung
Perusahaan investasi Singapura, Temasek Holdings mencatat, pendanaan ke para unicorn Asia Tenggara terus menurun sejak tahun lalu. Startup dengan valuasi jumbo pun didorong untuk mencatatkan keuntungan.
Setidaknya ada 12 unicorn dan decacorn di regional, yakni Bigo, Bukalapak, Gojek, Grab, Lazada, Razer, OVO, Sea Group, Traveloka, Tokopedia, VNG, dan VNPay. Unicorn adalah startup dengan valuasi di atas US$ 1 miliar, sementara decacorn US$ 10 miliar lebih.
Berdasarkan laporan Temasek bertajuk e-Conomy SEA 2020, startup jumbo ini mendapatkan dana segar total US$ 8,7 miliar. Nilainya menurun menjadi US$ 5,6 miliar pada tahun lalu.
Sedangkan sepanjang semester I tahun ini hanya US$ 3 miliar. Putaran pendanaan seri C dan D juga menurun dari 19 pada paruh pertama 2019 menjadi 17.
“Mengamankan pendanaan dalam waktu dekat kemungkinan akan semakin sulit karena investor menghindari bisnis yang menghabiskan banyak uang,” kata Chief Investment Strategist and Head, South East Asia, Temasek Rohit Sipahimalani dikutip dari siaran resminya, Selasa (10/11). “Jalan menuju profitabilitas telah dimulai dengan sungguh-sungguh.”
Rohit mengatakan, ‘bakar uang’ untuk mendongkrak volume transaksi bruto (gross merchandise value/GMV) atau menggaet pelanggan tidak masalah. “Tetapi yang lebih penting sekarang yakni melihat kualitas GMV dan pelanggan, apakah ini berkelanjutan. Pada akhirnya dapat diaplikasikan ke dalam model bisnis yang menguntungkan jangka panjang,” ujarnya.
Ia menilai, para unicorn dan decacorn perlu memfokuskan kembali bisnis inti mereka untuk memastikan berada di jalur yang tepat menuju profitabilitas. Rohit mencatat, beberapa di antaranya berfokus pada layanan pembayaran digital.
Sektor itu memang tumbuh cepat saat pandemi corona, termasuk di Indonesia, sebagaimana Databoks berikut:
Rohit mengatakan, unicorn di Asia Tenggara berpartisipasi di seluruh spektrum layanan keuangan digital. “Kesuksesan mereka akan bergantung pada kemampuan untuk merampingkan bisnis inti agar berfokus pada profitabilitas, dan akses ke pendanaan berkelanjutan,” katanya.
Di tengah pandemi virus corona, Gojek dan Grab menyatakan bisnisnya pulih ditopang oleh pesan-antar makanan GoFood dan GrabFood. Selain itu, keduanya merambah layanan restoran berbasis komputasi awan (cloud kitchen).
Pada Oktober lalu, Presiden Grab Ming Maa mengatakan bahwa bisnis perusahaan hampir pulih ke tingkat sebelum adanya virus corona. Salah satu penopangnya yakni jasa pesan-antar makanan, yang menyumbang 50% lebih ke pendapatan.
"Pemulihan bisnis kami terus berlanjut, dengan pendapatan grup pada kuartal III naik lebih dari 95% dibandingkan posisi sebelum adanya Covid-19," kata Presiden Grab Ming Maa dalam pembaruan buletin tentang bisnis perusahaan yang dikirim melalui email, dikutip dari Reuters, Oktober lalu (22/10).
Data itu diamini oleh juru bicara Grab Indonesia, tetapi tidak diperinci peningkatan bisnis untuk masing-masing layanan.
Dengan peningkatan tersebut, valuasi Grab juga disebut-sebut naik dari US$ 14 miliar menjadi US$ 15 miliar lebih.
Begitu juga dengan Gojek. Meski perusahaan belum menanggapi permintaan tanggapan terkait transaksi selama pandemi corona, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) mencatat bahwa layanan pesan-antar makanan meningkat.
LD FEB UI menyurvei 4.199 konsumen Gojek terkait penggunaan layanan pada September lalu. Sebanyak 65% dari mereka semakin sering menggunakan GoFood. Lalu 68% memakai GoPay, 57% paylater, dan 36% GoSend.
Alhasil, pengeluaran konsumen untuk membeli kebutuhan sehari-hari melalui GoMart meningkat 44%. Sedangkan belanja untuk pesan-antar makanan naik 26% dan transaksi menggunakan GoPay meningkat 8%.
Namun, konsumen mengurangi pengeluaran untuk layanan transportasi, khususnya ojek online 18%.
Selain decacorn, bisnis unicorn Tanah Air Traveloka mulai pulih. “Di tiga pasar domestik yang kami miliki yakni Indonesia, Thailand, dan Vietnam, pemulihan berjalan kuat,” kata President Traveloka Group Operations Henry Hendrawan dikutip dari Tech In Asia, Oktober lalu (20/10).
Di Indonesia, transaksi hotel mencapai sekitar 70-75% dibandingkan sebelum ada virus corona. Ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus, sebagaimana Databoks berikut:
Jumlah pengguna aktif mingguan di Android juga pulih dibandingkan penurunan tajam pada Maret lalu, meski masih jauh dibandingkan pra-pandemi.
Ia pun mengatakan, perusahaan akan mencapai titik impas (break even point/BEP) pada akhir tahun atau awal 2021, jika industri perjalanan pulih setidaknya 50% dibandingkan sebelum ada pageluk Covid-19. Selain itu, akan segera meraih keuntungan.
Sedangkan penggunaan layanan e-commerce seperti unicorn Tokopedia dan Bukalapak meningkat selama pandemi corona. Facebook dan Bain & Company memperkirakan, nilai transaksi belanja online di Indonesia hampir US$ 72 miliar atau sekitar Rp 1.047,6 triliun pada 2025, melonjak dibandingkan proyeksi awal US$ 48 miliar.
Tokopedia mencatat, jumlah penggunanya bertambah 800 ribu selama pagebluk virus corona. Sedangkan Bukalapak menyebutkan ada tambahan tiga juta lebih pelapak, serta mitra warung dan agen.
Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra mengatakan, transaksi di e-commerce naik lebih dari 110% dan jasa pengiriman makanan 15% lebih. “Kami juga melihat pertumbuhan pengguna baru yang substansial, yaitu 276%,” kata Karaniya kepada Katadata.co.id, Oktober lalu (27/10).