Menteri Tak Hadiri Rapat di DPR, Pengesahan RUU Keamanan Siber Ditunda

Desy Setyowati
Oleh Desy Setyowati - Tri Kurnia Yunianto
27 September 2019, 16:14
DPR memutuskan untuk membatalkan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber pada periode ini. Meski begitu, regulasi ini bisa dibahas oleh DPR periode 2019-2024
Arief Kamaludin | Katadata
Ilustrasi gedung DPR. DPR memutuskan untuk membatalkan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber pada periode ini. Meski begitu, regulasi ini bisa dibahas oleh DPR periode 2019-2024.

(Baca: DPR Optimistis Pembahasan RUU Keamanan Siber Rampung Sebelum Oktober)

Kedua, membatasi perkembangan teknologi yang melindungi hak asasi. RUU ini memberi kewenangan kepada BSSN untuk mengeluarkan izin atas sejumlah aktivitas, seperti pembuatan teknologi VPN, pengembangan antivirus, teknologi enkripsi, dan penelitian akademik.

Ketiga, menghalangi kapasitas individu dalam meningkatkan keamanan siber. “Penyelenggara kursus keamanan digital, trainer digital, semua harus dapat sertifikasi dari BSSN. Bila tidak, dikenai pidana,” kata dia melalui akun resmi Twitter-nya @DamarJuniarto, Rabu (25/9) lalu.

Terakhir, minim partisipasi multistakeholder. “Sampai hari ini, kalangan bisnis seperti KADIN, Mastel, industri teknologi keamanan siber, akademisi di kampus, dan banyak pihak belum diajak diskusi soal RUU ini,” kata dia.

Berdasarkan informasi yang diterima Damar, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber akan disahkan pada 30 September 2019. “Jika jadi disahkan, ini akan memecahkan rekor pembuatan UU tercepat di Indonesia. Lebih cepat dari UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” kata dia.

Sebab, RUU ini menjadi inisiatif Badan Legislatif (Baleg) DPR pada Mei 2019, bukan pemerintah ataupun Komisi I. Publik pun baru mengetahui draf regulasinya pada bulan lalu. Pembentukan pansus-nya baru dilakukan pada 16 September lalu.

(Baca: DPR Tanggapi Klausul Penyadapan dalam RUU Keamanan Siber)

Hal senada disampaikan oleh idEA. Ketua Bidang Ekonomi Digital idEA Bima Laga menjelaskan, ada beberapa hal yang menjadi sorotan asosiasi. Pertama, pasal 66 terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). “Menurut kami itu akan struggle karena kurangnya kapabilitas baik secara sistem maupun talenta,” kata dia dalam siaran pers, kemarin (26/9).

Pasal 66 menyebutkan, pembangunan dan/atau penguatan perangkat dan infrastruktur keamanan dan ketahanan siber wajib memenuhi ketentuan 50% TKDN. Hal itu diterapkan masing-masing untuk pengadaan perangkat keras dan/atau perangkat lunak.

Kedua, pada pasal 8, menurutnya definisi masyarakat terlalu luas. Sebab, mencakup sektor privat dan publik. Ketiga, ada pasal terkait sertifikasi yang menurut idEA bersifat pemborosan (redundant). “Sertifikasi memberatkan startup atau e-commerce kecil,” katanya.

(Baca: BSSN Optimistis RUU Perlindungan Data Pribadi Rampung Sebelum Oktober)

Halaman:
Reporter: Tri Kurnia Yunianto
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...